Diluar
sana, cuaca kembali bersih sehabis gumpalan awan tebal meneteskan air begitu
deras diiringi gemuruh berdering keras di atas langit. Barusan tetesan air tak
terhitung berjatuhan menghambat para penghuni Ibu Kota yang masih berdiam di
singgahsana kediaman memilih tidak keluar. Mungkin saja yang memiliki kendaraan
mobil tetap keluar menyisir jalan sampai pada tujuan. Alangkah pahit rasanya
bagi orang-orang yang hanya menikmati kendaraan motor, apalagi yang setiap
waktu setia jadi pejalan kaki. Di rumah ini bersama seorang yang punya gubuk
mewah ini, dua minggu lamanya mendamparkan diri dalam gubuk elit dibangun dari
hasil uang rakyat mendapatkan banyak wejangan dan bantuan dari beliau.
Di
atap gubuk ini masih ada kumpulan-kumpulan sisa air hujan, terdengar jelas
bunyi tetesan demi tetesan di luar sana sedang bercumbu dengan permukaan bumi.
Aku sendiri masih asyik memainkan dan menggoyangkan jemari di atas keyboard Laptop dan nampak fokus
menatapkan kedua bola mata jarang berkedip kedepan layar sambil duduk
manis-bersandar di atas sofa berkaki empat ini. Sedari pagi posisi seperti ini
apa adanya, sekali-kali meninggalkan karena soal kebutuhan mendesak tapi tidak
pake lama kukembali lagi memasang badan seperti posisi semula. Seperti biasa,
rokok dan kopi di meja masih setia menemani sebagai alat penyegar pikiran dan
tenggorokan. Sialnya, beberapa menit yang lalu bungkus rokok Gudang Garam jenis
Internasional tidak berisi lagi, biarlah...nanti ambil lagi di warung depan
tanpa lupa menukarkan dengan Uang. Kopi pun semakin menipis, tapi masih bisa
menjelma jadi penghibur minimal penghibur perut, tenggorokan dan kadangkala
sampai ke otak.
Dalam
perjalan waktu bercumbu bersama Laptop dini hari, datang pesan dari seorang
wanita via Line, dia ya dia perempuan
yang belum lama menjalin kasih denganku. Pesannya tertulis “kemarin aku ada masalah tapi Alhamdulillah
udah selesai”. Tidak berpikir panjang fiture
telpon Line kupencet segera tapi tidak diangkat, kupencet sekali lagi tidak
diangkat lagi. Sempat kuberpikir ada gerangan apa dengan adinda ini, datang
pesannya “aku lagi di luar, tidak bisa
angkat telpon”. Baiklah, aku pun berhenti menelponnya dan mengirimkan pesan
“Alhamdulillah karena udah selesai, maaf sebelumnya ya dek”, kutanyakan “masalahnya yang menimpamu kemarin apa
sayang”. Dijawabnya “ya nggak apa-apa”,
kemudian disusul pesan selanjutnya “udahlah
aku nggak mau ingat-ingat itu lagi, jangan ditanyakan lagi, lagian udah selesai
juga”. Kukirim pesan balasan “okelah
kalau itu maunya adek, kk ngga’ bisa maksa”. Tidak lama dia balas “udah dulu ya ka, ada yang harus aku
kerjakan...daah”. Dalam keadaan bertanya-tanya di pikiran ada apa yang
menimpa kekasihku ini dan lumayan gelisah kubalas “Oke oke...semangat dan sehat selalu” dalam keadaan prihatin.
Aku
tetapkan melanjutkan aktivtas tapi suasana hati dan pikiran berubah, rasanya
ingin marah dari ketidakjujuran dan tidak berceritanya dia tentang masalah
hidup yang menimpanya. Kumenatap layar HP untuk melakukan browsing informasi konflik komunal di Tanah Air dan kemudian
membacanya sambil mengetik poin-poin penting di Laptop, tetapi gemuruh hati dan
kerumitan pikiran semakin menjadi-jadi. Namun, aktivitasku tidak kuhentikan
sedikitpun walaupun muncul polemik internal diri, sembari itu aku men-flashback ke belakang tentang sikap dan
pola komunikasi beberapa hari terakhir ini antara kami berdua. Kurenungi dan
resapi perjalanan komunikasi kami berdua beberapa hari ini ternyata cukup
pelik. Sebelumnya, dia tinggal di Malang ujung timur Jawa sedangkan aku berada
di Ibu Kota.
Empat
hari yang lalu sempat terputus komunikasi dengannya sekitar sehari lamanya
karena paketan telah datang masa habisnya. Memang sehari itu rasanya cukup
lama, sebelum-sebelumnya pasti komunikasi bisa berjalan beberapa kali dalam
sehari. Setelah paketan kembali beraktifitas, kukirmkan pesan cinta dalam
bentuk simbol tetapi direspon tidak seperti biasanya...sungguh tidak
mengenakkan. Beberapa waktu kemudian kutelpon beberapa kali baru diangkat dan
dialog antara kami tidak seperti biasanya. Responnya singkat dan tidak jelas,
kucoba mencairkan suasana tapi kelihatannya terlanjur kecewa dengan respon yang
tidak berubah-rubah. Kuduga, pasti ada masalahnya ini anak, tapi karena faktor
ketidaktahuan, akupun biasa-biasa dan menikmati duniaku seperti biasanya, lalu
lalang di Ibu Kota, mengetik, dan baca buku. Sehari kemudian, komunikasi
berjalan lagi dan lancar sedap walaupun pesan-pesan yang dikirim seadanya,
rasanya hatinya kembali tenang. Malam datang dihari itu, posisiku di Ciputat
sedang menikmati permainan yang bikin kecanduan yaitu main Catur. Di saat peperangan
sengit di papan catur dan keenakkan memikirkan strategi, dia mengirim pesan dan
menelpon dua kali tetapi tidak kunjung kubalas dan kuangkat. Datang pesannya “baru pertama kali aku pacaran kayak gini,
Bosen”. Hahahaha...aku tertawa dan sedikit gelisah juga sih, ko’ labil
sekali sih tetapi tidak apa-apalah karena aku terlanjur sayang sama dia.
Beberapa
saat kemudian setelah pertarungan sengit di papan catur dalam beberapa ronde
dan aku masuk kategori menang, aku menelponnya dan diangkat. Responnya pun
kembali tidak mengenakkan, tidak lama berbincang dalam keadaan tidak jelas
karena sinyal juga terlibat menghambat, komunikasi terputus. Kembali ku-miscall beberapa kali tetapi tidak
kuduga kalau tidak diangkat ya dimatiin, sungguh sial. Dia kirim pesan “sebentar, kk aku ngecall” . Ternyata
dia telponan sama orang lain dan kubiarkan saja, entah siapa dan sampai saat
ini masih menjadi mistery karena
akupun tidak menanyakan, aku pikir masa bodoh menanyakan itu walaupun sedikit
penasaran. Kubalas pesannya “oke oke”, dan datang pesannya “Line aja ka, masih nelpon ne...pokoknya gimana baiknya menurut kakak
deh”. Kubalas tanpa berpikir panjang, bunyi pesannya seperti ini “Hemmm...lw diserahin ke kk, sekali sayang
yang sayang...perasaan jangan sampai ada celah untuk dipermainkan”.
Kulanjut lagi dengan balasan sedikit bijak “kita
baru dalam proses, masih panjang perjalanan. Perlu saling menerima apa adanya
dan utamakan saling percaya satu sama lain”. Dibalasnya dengan nampak kesal
dan malas, dia Cuma menulis “terus”.
Akupun kesal minta ampun dan memilih menyatu dengan SB (sleeping bag)tipis yang hanya dilapisi tehel sebagai sumber
pegal-pegal badan di besoknya.
Dini
hari menjadi hari berselang dari malam pesannya yang cuma menulis “terus” dan terus kutinggal tidur. Seiring
berjalannya waktu komunikasi tambah membaik dan kemudian hadirnya pesan tentang
masalah yang menimpanya. Sekitar satu jam yang lalu, dia menelpon tetapi hanya
sebentar. Sempat kumenanyakan masalahnya itu dan dia tetap bersiteguh tidak
menceritakannya, bahkan dia sempat bilang “sudahlah, sudah ada orang lain yang
bantu dia menyelesaikannya”. Sedikit menusuk tapi bukan menjadi persoalan
besar, toh komunikasi masih berjalan
dan saya masih meyakini kasihnya masih dominan ke diri ini. Memang pada
dasarnya ketika aku nyaman dalam alunan duniaku sendiri, kadangkala
kumengabaikan kekasih dan mungkin itu penyebabnya. Aku masih memikirkan
bagaimana meninggalkan sedikit demi sedikit budaya itu dan memberikan perhatian
pada orang yang kucinta, salah satunya wanita kukenal Sholeha yang sekarang
berada pada pusaran iklim Malang yang begitu sejuk. Kasih...harapku...kita
saling menyandarkan diri, hati dan pikiran dalam satu kesatuan yang utuh. Wallauhu Alam...!!!
Kalibata, 21 Maret 2016
0 komentar:
Post a Comment