Alam pikiran manusia di singgahi oleh berbagai macam misteri kehidupan. Msiteri itu banyak sekali, ada yang sudah bereksistensi di dunia nyata dan ada juga yang belum melampaui dunia pikiran atau hanya sebatas berterbangan di dunia imajinasi. Dalam pikiran manusia, misteri itu silih berganti menjadi ingatan manusia di setiap saat yang sesuai momennya masing-masing. Momen itu bisa jadi dipengaruhi oleh kondisi setiap orang atau lebih dipengaruhi oleh psikis. Dalam perjalanan SMA-ku dahulu kala atau sudah berlalu 2,5 tahun lamanya, ekspedisi seringkali saya dan teman-teman SMA lancarkan ke puncak gunung di sekitar daerah Massenrempulu - Sulsel. Aktivitas yang kadangkala saya lakukan pada waktu itu telah tersimpan dalam memori salah satu organ kepalaku. Memori itu kadangkala menyelinap di pikiranku di setiap waktu selama tinggal di Malang. Sebelum berangkat ke Malang bahkan selama di Malang salah satu "misiku" adalah rutinitas mendaki ke gunung. Mengapa harus di masukkan dalam salah satu misiku?.
"Bagiku, ketika di atas gunung sensasi-sensasi kehidupan akan menyinggahi alam pikiran dan mengungkap beberapa misteri kehidupan, walaupun semua itu sudah ditemukan oleh para pendaki-pendaki lain maupun yang hanya kesasar di atas puncak gunung. Akan tetapi setidaknya kita melihat, merasakan dan menikmati misteri ciptaan Tuhan dengan melalui cakrawala yang ada disekitar gunung yang di jejaki. Semua itu akan didapatkan mampaatnya, ketika kesadaran menyelimuti bahwa "begitu dasyatnya panorama yang di ciptakan Tuhan untuk ciptaannya (Manusia)."
Mampaat mendaki gunung yang kudapatkan pada waktu SMA menunjukkan setitik lubang yang cerah akan derasnya mampaat menelusuri gunung-gunung yang ada di bumi ini, khususnya yang bisa terjangkau oleh kemampuanku. Tidak terasa dua setengah tahun berlalu, misiku masih jauh dari ke tuntasan. Waktu selama itu di Jawa, misiku hanya sebatas misteri yang mengawang-ngawang di alam pikiranku setiap saat. Akan tetapi bukan berarti pesimis ketika hanya sebatas dipikiran, optimis akan selalu menyelimutiku untuk mencapai misi itu. Hal tersebut hanya berbicara waktu saja - "The only God that is know it".
Dua setangah tahun waktuku habis dan hanya gunung "Bromo" yang dapat kujejaki beberapa hari setelah mendarat di Jawa. Itupun tidak mengungkap kepuasanku di atas gunung karena ke Bromo kurang menantang. Misi itu baru bisa seperti bayi yang baru belajar merangka ketika ekspedisi di luncurkan ke gunung Panderman. Ekspedisi ke Panderman dilancarkan satu minggu lebih dari saat ini (sekarang 5 Februari 2013), berarti waktu itu 23 Januari 2013. Misteri yang ada alam pikiranku sudah mulai panas dan ingin diekspresikan untuk dieksistensikan di dunia nyata.
Panderman bagiku sebagai titik awal lagi untuk memulai aktivitas menjejaki Gunung yang selalu kurindukan. Tidak apa-apa ketika jarak waktu berjauhan antara Panderman ke gunung lainnya membutuhkan waktu yang lama karena melihat kondisi sekarang. Dan pastinya, tidak separah antara dari SMA sampai memasuki semester enam di perkuliahan baru sampai ke salah satu gunung di Jawa (Panderman).
PANDERMAN - MALANG
Memasuki waktu petang, perlengkapan gunung baru dipersiapkan. Mulai dari penyewaan Tenda Dome, Matras, Kompor Gas sampai pada mencuci alat makan. Maklum, perlengkapan yang di ungkapkan di atas belum saya miliki (berarti suatu saat saya harus memilikinya) dan juga maklum, piring, sendok dan gelas baru di cuci pada waktu itu karena kami di kotrakan malas dalam mengurusi rumah sewaan (tidak tahu kewajiban sebagai penghuni sementara). Kami berangkat, setelah kurang lebih satu jam habis Ashar dan keterlambatan itu disebabkan kerana ketelodaran kami (ada yang santai-santai dan ada yang tidur (saya). Di sore itu, ketika melirik keatas cuaca menampakkan penyakitnya. Beberapa gumpalan awan berubah menjadi hitam sebagai tanda sebentar lagi hujan deras akan berdatangan membasahi beberapa bagian isi dunia, khsusnya sekitar Malang.
Cuaca yang tidak dapat ditolerir karena memang sudah senyatanya sebagai kealamian alam dari dahulu sampai sekarang dan akan berlanjut di waktu mendatang - "Nature Laws" . Cuaca mendung dan tumbuh-tumbuhan terasa kangen di sirami tanpa bantuan manusia, tidak mematahkan hasrat saya untuk memacu teman-teman saya untuk meluncur secepat mungkin. "Meninggalkan kediaman lebih cepat lebih baik demi melampaui hujan menginjaki puncak gunung".
Hanya dua motor yang menggunakan Jas hujan dan satunya tidak menggunakan Jas hujan sampai perjalanan dengan menggunakan motor usai. Si Joli dua itu yang kelihatan gagah berani dan begitu romantis menikmati derasnya hujan tanpa menggunakan Jas Hujan. Sebenarnya ada niat untuk mengalihkan Jas Hujan dari badanku ke badan dua si Joli itu karena ketidaksanggupan melihat perempuan yang basah puyuh. Tapi aku tahan empatiku itu dan tetap menggunakannnya, soalnya sebagian banyak anggota tubuhnya sudah ditembusi air. Bahkan dalam pikiranku, "tulang-tulang mereka juga sudah merasakan sadisnya hujan pada waktu itu". Tapi apa boleh buat, biarkan mereka menikmati indahnya hujan deras yang penting jangan sampai kesakitan,
Cuaca yang tidak dapat ditolerir karena memang sudah senyatanya sebagai kealamian alam dari dahulu sampai sekarang dan akan berlanjut di waktu mendatang - "Nature Laws" . Cuaca mendung dan tumbuh-tumbuhan terasa kangen di sirami tanpa bantuan manusia, tidak mematahkan hasrat saya untuk memacu teman-teman saya untuk meluncur secepat mungkin. "Meninggalkan kediaman lebih cepat lebih baik demi melampaui hujan menginjaki puncak gunung".
Foto bersama: Mulai dari kanan (Sahbar, Hasrul, Aminuddin, dan orang misterius). |
Sebelum berangkat harus menampakkan kenarsisan terlebih dahulu dan itu wajib...hehehe. Foto diatas diambil di kontrakan sederhana yang sudah lebih setengah tahun menemani saya di Malang akan tetapi kurang terawat karena kemalasan saya dan teman-teman yang menempatinya. Padahal sangat terurusi oleh adik-adik perempuan dari Massenrempulu yang sebelumnya menghuninya..."tapi lupakanlah"...hehehe. Wajah di foto di atas, semuanya asli Massenrempulu dan satu kontarakan dengan diriku. Sebenarnya di kontrakan itu ada enam penghuninya, tetapi dua orang (Sayyap dan Linda) sedang berpulang ke kampung halaman untuk berlibur. Sayyap sendiri kangen dengan indo tercintanya, sedangkan Linda (laki-laki) kangen dengan sang kekasih tercinta di Makkassar, kalau nggak salah namanya Kiki.
Sebenarnya rombongan kami yang akan melakukan peluncuran ke gunung Panderman ada Lima orang. O iya, yang satunya perempuan yang bernama Tory, dia itu kekasih Sahbar (Iccang) yang sangat dia cintai dan kasihi dan begitupun sebaliknya...nggak usah bahas banyak dech tentang dua si joli itu. Pemotretan foto di atas di lakukan oleh Jayanti. Dia baru sampai dari kosnya dan kemudian langsung di intruksikan untuk memotret kami..heheh..egoisnya.
Beberapa menit setelah berfoto, kami berangkat menggunakan sepeda motor. Motor dibunyikan di depan rumah pinggir jalan dan kumelirik lagi ke atas, ternyata air sudah berjatuhan dari gumpalan awan di bagian sebelah Barat. Iklim yang kurang mendukung tidak mematahkan semangat kami. Perjalananpun di mulai dan masing-masing pengemudi dengan tiga motor terlihat gagah berani. Tidak menghitung menit dari keberangkatan, kami dipertemukan dengan hujan yang belum terlalu deras. Beberapa saat kemudian hujan begitu deras, sampai-sampai hanya beberapa batang air yang berjatuhan mampu menghasilkan rasa sakit pada anggota tubuh yang tidak di baluti oleh pelindung. Hujan deras, perjalan tidak di hentikan dan melaju terus.
Untuk menjaga keamanan benda-benda yang tidak pantas di sentuh Air dan menjaga pakaian yang menyelimuti badan, persinggahan sementara waktu dilakukan untuk membeli Jas Hujan. Jas hujan yang murah, dua biji hanya 50 ribu. Hehehe...tapi saya menghasilkan jas hujan dari uang pinjaman. Perjalananpun di lanjutkan setelah itu, saya kembali membeli konsumsi di salah satu milik usaha Muhammadiyah karena sebelumnya pembeliaan konsumsi tertunda.Hanya dua motor yang menggunakan Jas hujan dan satunya tidak menggunakan Jas hujan sampai perjalanan dengan menggunakan motor usai. Si Joli dua itu yang kelihatan gagah berani dan begitu romantis menikmati derasnya hujan tanpa menggunakan Jas Hujan. Sebenarnya ada niat untuk mengalihkan Jas Hujan dari badanku ke badan dua si Joli itu karena ketidaksanggupan melihat perempuan yang basah puyuh. Tapi aku tahan empatiku itu dan tetap menggunakannnya, soalnya sebagian banyak anggota tubuhnya sudah ditembusi air. Bahkan dalam pikiranku, "tulang-tulang mereka juga sudah merasakan sadisnya hujan pada waktu itu". Tapi apa boleh buat, biarkan mereka menikmati indahnya hujan deras yang penting jangan sampai kesakitan,
pikirku.
Perjalanan tetap dilanjutkan, diantara kami tidak ada yang tahu jalanan kesana setelah melewati kota Batu. Yang di andalkan pada waktu itu hanya ingatan Iccang yang tidak jelas karena sebelum berangkat dia sempat melakukan pencarian jalur menuju ke Panderman di internet. Sepucuk kertas diperlihatkan kepada saya dan orang misterius yang menggambarkan jalur menuju ke Panderman. Akan tetapi Peta itu, tidak tahu secara jelas apakah dihilangkan atau menghilangkan diri di kontrakan. Akibatnya gambaran jalur itu hanya berawang-awang di alam pikiran dan diantara kami bertiga yang sebelumnya meninjau peta itu tidak terlalu jelas mengingatnya. Hehehe....Akhirnya di tepi bagian Barat Batu, kamipun kesasar dengan jarak sekitar lebih dari satu Km.
Untuk di akhir kesasar pertama, kami menjumpai pos satpam dan Alhamdulillah terdapat satpam yang baik hati dan tidak sombong sedang jaga. Dia telah menunjukan jalur yang benar menuju Panderman dan yang sangat tahu tentang arahan satpan adalah orang misteri itu. Beberapa waktu kemudian kamipun kesasar lagi, dengan pede (percaya diri) kami terus melewati kampong terakhir. Kampong itu adalah kaki gunung Panderman, saya nggak tahu nama kampung itu. Padahal kampung itu adalah akhir dari menggunakan motor ketika ke Panderman. Jarak semakin jauh dari kampung terakhir dan melewati jalanan sempit. Kondisi jalanan itu sungguh mengkhawatirkan dan bisa jadi dapat merusak motor ketiak tidak hati-hati. Hujan berhenti dan kami berhenti sejenak dan berpikir karena kondisi jalanan yang tidak memungkinkan di lalui. Kami bercakap-cakap dan semuanya ragu akan kebenaran jalan yang kami lewati. Akhirnya kami balik ke kampung terakhir tadik dan bertanya karena sebelumnya kami tidak bertanya ke warga desa, "jalur mana yang harus dilewati untuk ke Panderman."
Kami berpuatar 180 derajat untuk kembali ke kampong itu dan sebelum kami menancapkan gas lagi. Terdapat seorang peternak dengan menggunakan motor under bound- Nya yang di belakang tubuhnya terdapat rumput gajah yang lumayan banyak. Dia sangat laju, padahal jalanan begitu parah, mungkin dia sudah terbiasa kali. Setelah sampai di kampung, kami menuju kerumah kepala Rt setempat dan memarkir motor kami dirumahnya. Tanpa banyak cakap dengan penghuninya, perjalanan dilanjutkan dengan jalan kaki. Saya sendiri menggunakan Lepis yang sangat menyiksa betisku untuk melanjutkan perjalanan, tetapi aku tidak sampai menggantinya karena terlanjur basah dan kotor. "Jangan sekali-kali menggunakan Lepis ketika melakukan pendakian, selain norak maka itu dapat mengantarkan kamu ke kondisi badan yang kurang sehat."
Matahari di kutub Barat telah menenggelamkan dirinya dan malampun menjemput dengan sopan tanpa di dampingi rembulan. Beberapa meter dari kampung, kami pusing lagi pada sebuah persimpangan, "jalanan mana yang benar". Kami berhenti di persimpangan itu sementara berpikir, kami mengeluarkan Hp sebagai alat penerang karena biarpun senter korek apalagi senter gunung lupa kami siapkan. Selain itu, kami juga menunggu pendaki lain yang baru sampai di kampung terakhir pada saat jalan kaki kami awali. Beberapa saat kemudian, sekelompok orang yang juga menuju ke Panderman menampakkan diri mereka. Beberapa menit kami bersama-sama melakukan perjalanan, tetapi di tengah perjalanan mereka berhenti sejenak mengambil air karena mereka sudah menetapkan untuk bermalam di pos satu. Mereka adalah pelajar di salah satu SMA di Malang yang semuanya duduk di kelas tiga yang sebentar lagi menempuh ujian akhir nasional.
Kami berangkat duluan pada waktu mereka berhenti karena ambisi saya, kami harus sampai di puncak pada malam itu juga. Mereka hanya menunjukan jalur yang kurang pasti sebagai hasil dari pertanyaanku. Jalanan sungguh membingungkan karena beberapa perimpangan kecil dan kami tidak patah semangat untuk tetap melanjutkan perjalanan. Dalam perjalanan kuhubungi adek-adek tingkat saya yang sudah melakukan perjalanan terlebih dahulu di banding kami, tetapi tidak ada satupun yang merespon, "PERJALANAN TETAP DI LANJUTKAN". Jalanan yang kami lewati sangat terjal, ya harus disadari bahwa ketiak ke gunung jalanan yang di lewati memang menantang. Dan bagiku itulah seni bagi para penyayang gunung.
Tidak lama kemudian Hp saya berdering, akhirnya yang menghubungi adalah salah satu adik tingkat yang sebelumnya renacana mendaki bareng. Mereka sudah jauh dari kami, tetapi ketika mereka atau kami berteriak, suara dapat didengar. Kami semakin optimis karena jalanan yang di lewati sudah tepat.
0 komentar:
Post a Comment