Pelanggaran HAM (Hak Asasi Manusia)
yang masuk klasifikasi “berat” di masa lalu sampai detik ini, masih belum jelas
dalam proses penyelesaiannya. Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu akan selalu menjadi
sorotan publik (grand issue) karena tidak
kunjung selesai, apalagi beberapa instrumen yang sebelumnya sudah melakukan
upaya-upaya memproses dan menyelesaikannya tetapi belum berhasil. Bisa dilihat,
KKR (Komisi Kebenaran dan Rekonsiliasi) jalan ditempat karena payung hukumnya
tidak ada (Pembatalan oleh MK atas UU KKR pada 2006). Begitupun dengan kekuatan
UU No. 39 tahun 1999 dan UU No.26 tahun 2002 sebagai undang-undang HAM masih belum
mampu dimaksimalkan. Tidak jauh berbeda dengan usaha-usaha yang dilakukan oleh
KOMNAS HAM dengan memasukkan berkas-berkas bukti pelanggaran HAM berat masa
lalu ke Kejagsaan Agung, tetapi statusnya mengambang.
Adapun beberapa peristiwa pelanggaran
HAM berat masa lalu yang diajukan KOMNAS HAM diantaranya; peristiwa G30 September 1965, peristiwa Talangsari,
Lampung 1989, tragedi Semanggi I dan II pada 1998-1999; peristiwa penembakan
misterius (petrus) 1982-1985 dan Wasior di Papua. Kegagalan dalam menyelesaikan
persoalan-persoalan tersebut menjadi catatan besar bagi pemerintahan yang
berkuasa di periode sekarang. Catatan bahwa “mau tidak mau” pelanggaran HAM
berat di masa lalu harus diselesaikan dengan secepat mungkin dengan cara
menentukan dan mengambil langkah-langkah strategis. Suatu kebijakan yang
menjadi harapan besar rakyat khususnya para korban pelanggaran HAM. Tidak
diharapkan, pemerintah takut atau tidak berani menentukan sikap-sikap lanjutan untuk
menyelesaikan kejahatan berat kemanusiaan masa silam. Tidak berani karena
aktor-aktor yang diasumsikan terindikasi sebagai tersangka, masih memiliki kekuatan dan pengaruh besar di tanah air.
Tragedi-tragedi kemanusian yang
terjadi di Indonesia di masa lalu, sudah menjadi keniscayaan sejarah untuk
terus membekas dalam catatan sejarah perjalanan bangsa. Senyatanya bukan
menjadi persoalan ketika hanya sebatas termuat dalam catatan sejarah, tetapi
bukan lagi menjadi beban kemanusian bagi bangsa dan generasi mendatang. Sudah
sepantasnya Indonesia sebagai negara demokrasi dan berhukum tidak terbebani
dalam kungkungan tragedi besar ketidakperikemanusian di masa lalu (Menghargai
dan menghormati Pancasila pada sila 3). Untuk itu, kewajiban bagi pemerintahan
Jokowi-JK adalah serius dalam mewujudkan salah satu program Nawa Cita-nya yakni
menyelesaikan kasus “Pelanggaran HAM Berat Masa Lalu” yang masuk dalam dokumen RPJMN
(Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional).
Berbicara langkah strategis dan bijak
dalam proses penyelesaian pelanggaran HAM berat masa lulu dan sampai tuntas,
begitu kompleks. Kerumitan dan kesulitan dalam menyelesaikan kasus-kasus besar
tersebut, selain terletak pada bagaimana keseriusan pemerintah dalam mengawal,
memantau dan melindungi, juga terletak pada orang-orang yang masih memiliki
kekuatan dan pengaruh besar di negeri
ini yang terindikasi menjadi tersangka nantinya. Tentunya orang-orang yang terindikasi,
akan melakukan gerakan pencegahan (preventive)
atau menghalangi langkah-langkah yang diambil pemerintah. Apalagi saat ini pemerintah
akan melibatkan beberapa lembaga diantaranya; Menkopolhukam, Kejagsaan Agung,
BIN, Kepolisian RI dan Komnas HAM, dalam membentuk tim komite dalam
menyelesaikan pelanggaran HAM berat masa lalu. Juga muncul wacana bahwa proses
penyelesaia yang akan ditempuh yaitu melalui jalur nonyudisial. Bukankah dengan jalur nonyudisial yang orientasinya pada rekonsialisasi tidak akan memberikan
efek jera kepada para pelaku. Apalagi dalam TIM yang anggota-anggotanya berasal
dari banyak lembaga, yang nantinya akan memperumit karena penuh dengan
kepentingan. Artinya banyak celah yang bisa dijadikan kendaraan bagi tersangka
untuk mengambil jalan pintas dalam proses penyelesaian.
Memang proses rekonsiliasi bagus
tetapi terbatas dalam memberikan efek jera pada si tersangka. Cara efektif yang harus diambil oleh pemerintah
adalah membentuk Tim Komite Independen (TKI) tanpa ada embel-embel politik
didalamnya melainkan memperjuangkan kepentingan rakyat khususnya korban, yang
kemudian didukung oleh Komnas HAM dalam proses mencari kebenaran bukti. TKI dan
Komnas HAM nantinya menindaklanjuti ke proses hukum yakni ke Kejaksaan Agung.
Pemerintah-pun harus tegas dan berani
menerapkan kebijakan tertentu bagi Kejaksaan Agung supaya serius memprosesnya
tanpa ditunggangi kepentingan politik apapun. Ketika TKI, Komnas HAM dan
Mahkamah Agung serta pemerintah serius dalam menyelesaikan kasus-kasus tragis
tersebut, maka beban yang sudah lama dipikul bangsa ini bisa “tutup buku”.
Pastinya diharapkan para tersangka mendapatkan hukuman yang setimpal, dan juga
para korban dapat memberikan maaf. Yakin dan percaya bahwa ketika pelanggaran
HAM berat masa lalu dapat terselesaikan dengan baik, tepat dan cepat melalui
proses hukum (the rule of law) yang
didukung dengan political will, maka
pemerintahan sekarang telah menorehkan prestasi luar biasa.
0 komentar:
Post a Comment