“Akhir Sebuah Kesalahan Besar”
Konsepsi antara kekeliruan dan kesalahan
secara definitif tidak dapat dimaknai bahwa terdapat perbedaan satu sama lain. “Kekeliruan-kesalahan”
secara definisi adalah kata hati yang diingkari dan cara berpikir yang kurang
atau tidak sistematis serta sikap, tindakan dan perbuatan yang merugikan diri
sendiri maupun, orang lain dan lingkungan sekitar. Mengingkari atau membungkam
diri dari niatan yang baik, menyusun cara berpikir secara sistematis dan
melakukan sesuatu yang senonoh semuanya itu merupakan penghianatan kebaikan dan
kebenaran. Setiap manusia memiliki kecenderungan besar pada kebaikan dan
kebenaran karena manusia memiliki potensi itu. Walaupun sebenarnya dapat juga
dimaknai sebaliknya dari itu sebagai hasil refleksi fenomena kehidupan.
Penjelasan tersebut adalah hasil interpretasi sendiri karena setiap orang
memiliki persepsi masing-masing dalam memaknai konsepsi “Kekeliruan-Kesalahan”.
Terdapat adiguim yang berbunyi: “benar menurutmu salah bagiku lantas kebijaksanaanlah
yang mampu meleraskan sebuah perbedaan”.
Coretan ini dimaksudkan merangkai sebuah
kata-kata menjadi sebuah catatan sejarah tentang “sebuah kesalahan besar dalam
perjalanan singkat”. Sudah lima bulan berlalu tepatnya 29 November 2014, saya
telah menggenggam Toga yang sifatnya simbolis
tetapi memiliki daya kuat dalam menarik kebanggan kedua orang tua terhadap
diri. Sebelumnya sudah terencana dengan baik apa yang akan dilakukan setelah
momen simbolis itu. Rencananya adalah pulang kampung memanen tanaman cengkeh
sebagai bentuk membantu orang tua yang berstatus petani dan ayah sekaligus
Pegawai Negeri Sipil (PNS). Akhir minggu pertama Desember, saya pulang ke
kampung dan menghabiskan waktu sekitar satu bulan di sana. Hampir setiap hari
ke kebun, selain mengahabiskan waktu di pohon cengkeh juga beberapa hari
meluangkan waktu memetik buah coklat dan menyemprot rumput yang menghalangi
kesuburan tanaman kopi, cengkeh dan coklat. Selama di kampung, setiap bertemu
dengan keluarga dan masyarakat setempat, pertanyaan yang selalu diajukan: apa rencananya
kedepannya?. Sayapun hanya menjawab: rencana lanjut study?. Pemikiran tradisional masih sangat kuat di didesaku, maklum kampung halaman saya salah satu
daerah terpencil di Sulawesi. Artinya, mayoritas masyarakat terkonstruk dan
mempersepsikan bahwa ketika selesai kulaih, secara otomatis mendapatkan
pekerjaan.
Panen buah Cengkeh telah selesai
tepatnya awal bulan Januari 2015, saya-pun lekas kembali ke kota dimana saya
menuntut ilmu selama empat tahun. Beberapa hari menghabiskan waktu di Malang kemudian
dilanjutkan ke Pare, sebuah daerah yang menjadi kiblat beajar bahasa Ingris di
Indonesia dan juga sudah dikenal di dunia Internasional. Niat datang ke Pare
tidak lain dan tidak bukan selain belajar dan mempermantap bahasa Ingris. Akan
tetapi perjalanan saya di Pare sungguh sangat mengenaskan walaupun tetap
kunikmati perjalanan itu. Artinya, selama hampir empat bulan hanya sedikit
pengetahuan bahasa Ingris yang didapatkan. Bulan pertama hanya ngekos dan mengambil satu program,
itupun hanya mengikuti pertemuan tiga kali setelah itu sudah tidak lagi. Aktivitas
selama bulan pertama, menghabiskan waktu di Kos menonton Film dan pulang balik
dari Pare ke Malang yang kadangkala satu minggu sekali dan juga kadangkala
sekali dua minggu. Ketika di Malang tidak ada yang begitu membuahkan manfaat
karena menghabiskan di kontrakan dan waroeng kopi (kadangkala sampai jam 3-4
subuh) tanpa produktivitas. Selain itu, kadangkala jika di Malang aktivitas
mendaki masih dilakukan. Walaupun aktivitas seperti itu, indah dan selalu
kunikmati tetapi disisi lain ada yang lebih substansial yang terbaikan.
Bulan ke-dua di Pare, niatpun dibulatkan
belajar keras dengan mengambil BP (Basic Foundation) I dan II di Alfast. Dan
menyewa tinggal di Kos-an yang tidak jauh dari bersama senior Iradat Taqwa dan
Agung Kurniawan. Namun seperti apa menjalaninya?, tidak jauh berbeda buruknya
dengan kebiasaan bulan pertama. Dimana pada bulan ke-dua, kebiasaanku sering
terlambat ikut program, tertidur di dalam kelas, hanya satu dua kali me-review
materi di kos-an (di luar), kerja soal dengan sembarangan dan tidak mau ikut
perbaikan nilai dan beberapa hari tidak masuk kelas. Bahkan kebiasaan di bulan
pertama seperti pulang balik Pare-Malang dan mendaki masih saja dilakukan.
Memasuki bulan ke Tiga, aku memutuskan
mengambil program TOEFEL Camp di ELFAST demi menstimulus semangat dan disiplin
cara belajarku, walaupun secara dasar pemahaman bahasa Ingris sangat masih
diragukan. Hanya sedikit perubahan, me-review materi tapi itupun kadangkala dan
nilai scoring TOEFEL yang dilakukan
tiga kali seminggu tidak pernah di tahu. Ketidaktahuan karena kecuekan akan hal
itu begitu tinggi sampai berakhirnya masa program TOEFEL Camp. Bulan ke-tiga
pun, masih saja Pulang-Balik Malang dan melakukan pendakian. Kadangkala
kumerasa sedih ketika mengingat kebiasaan selama tiga bulan di Pare. Sudah
menghabiskan banyak dana dan juga rugi waktu. Kebiasaan seperti itupun
kuberikan nama Kesalahan Besar (A Great
Mistake) dan mengakhirinya (The End
Of A Hard Mistake).
Refleksi dari kebiasaan buruk di atas dan
dampak negatifnya yang berjalan selama beberapa bulan menjalani hidup di Pare,
saya-pun harus bangkit dan benar-benar serius berjuang terhadap niat awal.
Sebuah niat luhur untuk masa depan yang lebih baik dan cerah yaitu belajar
bahasa Ingris demi pengembangkan wawasan khususnya perkaitan disiplin ilmu
(Ilmu Hubungan Internasional) dan kelak bisa jadi penulis handal dan menjadi
pengajar yang profesional. Untuk itulah, di bulan ke-Empat ini kumulai menata hidup
dengan menghabiskan waktu belajar bahasa Ingris. Walaupun di bulan ke-Empat, saya
hanya mengambil program Translation di Alfast tetapi kuhabiskan waktu di luar
(salah satunya di Camp) untuk belajar. Sekarang aku tinggal di Alfalfa Camp
yang didirikan oleh Mrs. Indah Swi Swastika, sebuah tempat kursusan yang
lumayan masih berjalan English Area-nya
dibanding tempat kursusan lain di Pare. Selain itu Camp Alfalfa memiliki morning program, study club dan pablic speaking (setiap Jum’at Malam). Menurut
saya, Alfalfa Camp memiliki culture
belajar bahasa Ingris dibandingkan yang lain. Kulture yang baik dan tempat
tinggal kondusif yang disajikan Alfalfa sangat mendukung keseriusan saya dalam
belajar bahasa Ingris bulan ini.
Satu
minggu sudah berjalan saya menetap di Alfalfa Camp, pemahaman bahasa Ingrisku
sudah mulai meningkat dan menahan diri pulang ke Malang. Kebiasaankku saat ini
jauh berbeda dengan tiga bulan kemarin yang sudah berlalu, saya sudah rajin
me-review materi translation dan kembali mempelajari materi BP I dan II dan
Materi TOEFEL yang pernah di ajarkan di bulan kedua dan ketiga. Aktivitas seperti
itu merupakan panggilan jiwa dan memberikan kedamaian tersendiri. Harapan
kedepannya saya bisa mempertahankan kebiasaan seperti itu dan semakin
meningkatkannya. “No for the others people but for myself”.
0 komentar:
Post a Comment