Oleh[1]
Abstrak
Konflik bukan sesuatu yang asing lagi bagi kita sebagai akedemisi, bahkan konflik dapat diamati dan dirasakan dalam kehidupan sehari-hari. Sistem Internasional – Domestik telah memperlihatkan kondisi anarkis (Internasional - Domestic Anarcys), sebagaimana keyakiann realisme. Manusia – Negara – Bangsa sampai kapanpun akan dihadapkan pada konflik, baik secara langsung “fisik” maupun tidak langsung dan itulah kenyataan politik ‘realitas politik’. Afrika menjadi salah satu wilayah yang dihadapkan konflik berkepanjangan dan hal tersebut telah membuka mata kita akan kerasnya kehidupan di sana. Somalia telah menjadi salah satu Negara konflik di Afrika, yang mana sudah lebih dari dua dekade telah dihadapkan pada konflik bersaudara atas nama perebutan kekuasaan “Struggle Of Power”. Ketika mengkaji konflik Somalia, pengaruh dan Intervensi dari luar tidak bisa dilupankan dan tentunya yang demikian dapat mengilhami kita bahwa perlu diskusi lebih lanjut untuk dapat memahami apa sebenarnya yang terjadi di Somalia dan mengapa ada intervensi dari luar. Sebagai akedemisi pengkaji Hubungan Internasional, sepatutnya dituntut untuk menganalisa suatu negara yang dihadapkan pada konflik dan bagaimana mencari solusinya. Realisme sebagai teori mainstream di HI akan membantu untuk menjelaskan konflik yang terjadi di Somalia.
Kata Kunci
Konflik, Kepentingan, kekuasaan,keamanan nasional dan Negara
Pembahasan
Manusia telah digambarkan sebagai makhluk yang tidak bermoral disisi lain yang telah melekat dalam diri manusi atau sudah menjadi sifat alamiah manusia‘Human of nature’ Thomas Hobbes menekankan mengenai sifat alamiah manusia, yaitu mementingkan diri sendiri (selfish), suka bertengkar, haus kekuasaan (Animus- dominande), kejam dan jahat.[2]
Akar Konflik
Belajar sejarah telah memperlihatkan kepada manusia, khususnya mahasiswa yang menggelimutinya[3] betapa tragisnya penomena yang pernah menimpa negara-negara tertentu, seperti Somalia dari negara Imprealis kolonial. ...“ Ketertiban itu menentukan pembagian kekuasaan tertentu dan memberikan standar dan proses untuk memastikan dan memeliharanya dalam keadaan kongret....Sejumlah negara dengan kepentingan yang sama dalam pemiliharaan ‘Status Qou’, mungkin akan melindungi kepentingan bersama mereka untuk melawan ancaman dari sumber tertentu, bukan oleh aliansi Suci, akan tetapi oleh “sistem keamanan kolektif” atau perjanjian saling membantu”.[4] Salah satu negara yang menjadi korban dari politik satatus qou adalah Somalia, sebelum Somalia memperoleh kemerdekaan atau masih berstatus negara koloni dari tiga negara kuat Eropa pada waktu sebelum perang dunia II, yaitu Francis, Italia dan Ingris. Negara kolonial tersebut telah membagi Somalia menjadi beberapa bagian, yang mana ketiga negara tersebut mendapatkan wilayah kekuasaannya masing-masing, seperti Britis Somaliland, Puntland, Djobuti dan wilayah lainnya.
Pada tahun 60-an Somalia memperoleh kemerdekaan dan bebas dari negara kolonial dan disitulah awal baru bagi masyarakat somalia dalam menjalankan roda kehidupan baru di Somalia. Walaupun somalia telah mardeka dan berhasil mengintegralkan beberapa wilayahnya dalam satu sistem pemerintahan, tetapi wilayah Ogaden yang masih satu etnis dengan masyarakat Somalia telah di ambil oleh Ethopia karena menyangkut dengan letak geografis dan pembagian wilayah waktu Somalia masih wilayah jajahan. Kedaulatan didapatkan oleh negara Somalai pasca memperoleh kemerdekaan dan mempunyai pemerintahan baru yang disebut Republik Demokratik Somalia, presiden pertamanya ialah Aden Abdullah Osman Daar.
Keyakinan bahwa pada dasarnya setiap manusia menginginkan kedudukan dalam sebuah sistem “Pursuit of Power”. Dalam kehidupan sehari-hari, manusia sebagai makhluk bersosial telah merasakan dan melihat penomena sosial, yaitu kehendak yang dimiliki manusia dan tidak lepas dari konsep kepentingan ‘Interest’. Fakuyama telah menggambarkan tentang dinamika sebuah Organisasi - Negara “ Organisasi adalah kumpulan individu yang mewujudkan perilaku kooperatif maupun kompetitif atau perilaku demi kepentingan sendiri”.[5] Sistem telah mengkonstruk manusia untuk berkompetisi mendapatkan kepuasan batin, yaitu memperoleh kekuasaan. Keinginan dasar manusia tersebut ‘Naluri hewan’ dapat dijumapai dimana-mana – tanpa terkecuali, termasuk dalam sistem pemerinatahan. Machiveli mengatakan.... “Ada dua metode dalam pertarungan, pertama dengan hukum, yang lainnya dengan kekuatan, metode pertama ada pada diri manusia (baik), yang kedua ada pada binatang (buruk), nmaun metode pertama sering kali tidak cukup bagi kita, orang harus memakai cara kedua sebagai jalan lain. Dengan demikian, penting bagi penguasa mengetahui dengan baik, bagaimana cara menggunakan baik cara binatang (buruk) atau cara manusia... (baik).[6]
Dari steatment tersebut telah mengilhami, bagaimana memandang konflik besar pertama yang terjadi di Somalia setelah memperoleh kemerdekaan, pada saat (1963) peralihan kekuasaan dari presiden kedua ‘Abdi Rashid Ali Shermarke’ ke Siad Barre. Siad Barre untuk mendapatkan kekuasaan dengan cara kudeta militer yang telah mengakibatkan pertumpahan darah. Thucydides mengatakan “ ...Dan dari orang yang kita percaya, sudah hukum alam mereka yang mutlak,bahwa mereka yang berkuasa kapan saja mereka dapat.[7] Ilmuan kuno tersebut berpesan bahwa “bagaimana jadinya ketika kita sementara memegang otoritas tertinggi dalam sebuah sistem, kemudian terdapat oposisi dengan kekuatan besar”, maka kemungkinan besar terjadi perebuatan kekuasaan, apakah dalam bentuk radikal atau tidak. Perjalanan kehidupan telah memperlihatkan manusia sebagaimana yang dikatakan Thucdides, semisal Indonesia (orde lama ke orde baru), beberapa negara di Timur tengah dan di Afrika, termasuk somalia.
Selama dua dekade pemerintahan Siad Barre telah memunculkan konflik baru baik ditataran Internal maupun lintas teritorial. Konflik antara Somalia dan Ethopia, yaitu masalah wilayah yang dikuasai Ethopia, yaitu Ogaden, namun tidak berhasil karena Ethopia di bantu oleh Kuba dan Uni Sovet “Distribusi Power of External” – Neo-Realisme... “Pada Struktur sistem, pada unit-unitnya berinterak dan pada kesinambungan pada perubahan sistem yang terjadi akibat perubahan distribusi kapabilitas Yng similiki antara unit-unit itu”.[8] Kebijakan siad Barre telah membawa kekuasaan-nya jatuh beberapa diantaranya, yaitu Sistem yang digunakan adalah pemerintahan otoriter, disamping itu kepemimpinan-nya kurang cakap sehingga menyebabkan kurangnya legitimasi dari rakyat atau klan-klan Somalia.Namun, Fakuyama telah menjelaskan bahwa keotoriteran pemimpin bukan salah satu aspek jatuhnya sebuah rejim, namun juga kebijakan-nya yang tidak dapat memenuhi kebutuhan masyarakat, apakah dalam konteks ekonomi, sosial dan politik (krisis kecakapan kepemimpinan).[9]
Konflik permukaan pada masa pemerintaha Siad Barre saat mengeluarkan kebijakan yang merujuk pada “Diskriminasi Klan” pada tahun 1981. Dimana, Kebijakannya tersebut menembak pada klan oposisinya, sehingga orang-orang klan Mijertyn dan Isaaq yang pernah mendapat kedudukan dalam pemerintahan telah dikeluarkan dan kemudian digantikan oleh orang-orang dari klannya sendiri yaitu klan Marehan. Diskriminasi dan pengusiran dari pemerintaha telah mengundang malapetaka terhadap stabilitas pemerintahan. Keluarnya kedua orang-orang klan tersebut dari pemrintahan telah bergabung dengan klan-klan lain ‘anti-pemerintahan’. Konflik terbuka-pun tidak dapat dihindari pada tahun 1989 antara oposisi dengan pemerintahan dan eskalasinya pada tahun 1991, yang mana dimenangkan oleh oposisi “Anti pemerintahan “ sehingga pada waktu itu dikenal dengan “Revolusi Somalia”. Di sinilah asal muasal konflik bersaudara di somalia yang mengerikan dan berlangsung sampai saat ini.
Hilangnya Pemerintahan
Negara tanpa pemerintahan, menandakan bahwa negara tersebut telah kehilangan kedaulatan penuh sebagai negara mardeka dan konsep West-phalia telah gagal ketika merujuk, apa yang melanda Somalia pasca kemenangan oposisi dari pemerintah dan sampai sekarang. Untuk menciptakan kedaulatan maka negara harus kuat dan mengfungsikan lembaga-lembaga yang ada, namun Somalia jauh dari semua itu setelah Revolusi. Oposisi telah gagal membentuk pemerintahan baru ‘New Goverment’ untuk menggantikan pemerintahan lama sehingga ketidakstabilan-pun terjadi. Kegagalan tersebut disebabkan oleh beberapa indikator, yaitu Konsensus oposisi telah gagal menghasilkan kesepakatan yang signifikan untuk membentuk pemerintahan baru dalam mengintegralkan wilayah Somalia karena terjadinya perbedaan pendapat. Setelah itu terjadi perebutan kekuasaan antara klan sehingga melahirkan perang saudara yang berkepanjangan dan konflik baru-pun telah muncul, dimana konflik tersebut bukan lagi antara pemerintah dan golongan oposisi, tapi antara klan-klan yang pernah tergabung dalam sebuah pergerakan revolusi.
Apa yang melanda Somalia dari dua dekade sebagai negara yang mayoritas muslim begitu mengerikan, bukan hanya konflik antara golongan yang memakan korban jiwa namun juga penomena sosial telah melanda Somalia, seperti kemiskinan, kelaparan yang mengakibatkan kematian lebih dari 300 ribu orang, pengungsian dan pendidikan. Penomena tersebut dilahirkan oleh konflik yang berkepanjangan,melihat kondisi objektif Somalia maka dapat dikatakan bahwa Somalia sebagai salah satu negara gagal atau lemah di Afrika, Fakuyama mengatakan bahwa “ Di somalia.... “komunitas internasional” tersebut tidak lagi merupakan suatu abstraksi dan mengambil kehadiran yang jelas sebagai pemerintahan yang efektif dari negera yang bersangkutan. Di negara-negara itu, kedaulatan tidak ada lagi dan fungsi pemerintahan dipindahkan kepada perserikatan bangsa-bangsa atau badan-badan bantuan lain dan NGO – LSM...”.[10]
Somalia pasca revolusi kedaulatannya semakin terkikis bahkan tidak ada sama sekali, selain sebagai tempat ladang konflik juga wilayahnya terbagi-bagi dalam beberapa bagian, yang demikian akan melahirkan masalah baru yang lebih besar. Beberapa wilayah somalia menyatakan merdeka dan mempunyai pemerintahan sendiri, akan tetapi keadaannya tidak pernah diakui. PBB sebelum-sebelumnya sudah 13 kali berusaha membentuk pemerintahan transisi namun mengalami kegagalan, tetapi pada bulan Agustus 2004 telah berhasil berhasil membentuk Pemerintahan Federal Transisi, dimana parlemen transisi bertemu di Kenya dan sepakat untuk mengangkat Abdullah Yusuf sebagai presiden. Namun, pasca pertemuan di Kenya tidak ada lagi pertemuan sampai tahun 2006, karena disebabkan adanya kesulitan menentukan lokasi parlemen seharusnya berada.
Kelahiran TFG dibayang-bayangi oleh semakin kuatnya Islamic Council Union (ICU)[11] yang memang lebih dulu ada. Konflik antara pemerintahan dengan Mahkamah islam telah berlangsung dan puncaknya pada akhir 2006, dimana konflik tersebut dimenangkan oleh kelompok islami. ICU menentang pemerintah transisi karena kebijakan-kebijakannya sebagian besar dipengaruhi dari luar, khsusnya Ethopia dan Amerika Serikat.[12]
Apalagi Ethopia merupakan musuh konvesional yang disebabkan oleh wilayah Ogaden dan Agama. Ethopia yang telah membantu pemerintahan transisi untuk mengalahkan ICU, karena Ethopia akan merasa terancam jika Islam radikal yang memegang pemerintahan “Insecurity National”. Dari alasan tersebut, sehingga Ethiopia membantu pemerintahan transisi dalam menguasai Somalia.
Intervensi AS Dan Amisom
Keamanan nasional “Security National” adalah sesuatu yang urgent bagi suatu negara dan itu menyangkut kemaslahatan isi sebuah negara. Paska serangan WTC dan Pentagon telah melahirkan AS yang agresif terhadapa umat muslim, terutama Al-Qaeda sebagai dalang dari serangan tersebut. Amerika Serikat pada waktu itu merasa Kedaulantan-nya tercoreng, dimana ribuan rakyatnya meninggal dan tentunya akibat serangan tersebut merefleksikan dukungan moral dari masyarakat Internasionla, khsusnya masyarakat AS atas doktrin Bush Jr, yaitu “War on teror”. Kebijakan luar negeri Amerika Serikat pada awal abad 21 lebih condong pada penghapusan terorisme dengan cara menyerang tempat munculnya terorisme, sehingga Amerika serikat dikenal sebagai kekuatan Unitalitarisme global.
Amerika Serikat telah memperkuat negaranya baik dari segi politik maupun dari militer paska kejadian tersebut karena ketakutan keamanan nasional-nya terganggu. Untuk menjaga keamanan nasional Amerika Serikat mau tidak mau, USA harus menyerang negara yang dianggap sarang terorisme, sehingga yang menjadi korban pertamanya ialah Irak dan Afganistan. “Kemungkinan-kemungkinan untuk menangkis suatu ancaman keamanan yang nyata dari bagdad tidak dijabarkan secara memadai dan pemerintahan Bush mencampuradukan ancaman yang dimunculkan oleh irak dengan ancaman kaum teroris dalam suatu cara yang tidak mencerminkan secara tepat kepentingan-kepentinagan yang berbeda dari kedua hal tersebut (Mearsheimer)”.[13]
Negara-negara lemah dianggap sebagai tempat yang mudah dimasuki terorisme atau bahkan sarangnya, sehingga menjadi target utama Amerika Serikat. Somalia sebagai negara gagal dan lemah yang mudah dimasuki terorisme menjadikan Amerika Serikat mengambil kebijakan untuk melakukan Intervensi walaupun terjadi pelanggaran kemanusia demi keamanan nasional USA. Amerika Serikat juga beralasan menuduh ICU merupakan tersangka pengeboman Kedutaan Besar Amerika di Kenya dan Tanzania di tahun 1998. Serangan terhadap dua kedutaan tersebut menewaskan banyak warga Amerika. Maka hal utama yang mendasari agresi Ethiopia dan Amerika Serikat ada dua yaitu pertama, ICU memiliki hubungan dengan teroris yang membom Kedutaan Besar Amerika Serikat dan akan mengganggu keamanan regional apabila dibiarkan berkeliaran. TFG adalah pemerintahan yang sah dan didukung oleh mayoritas penduduk Somalia.[14]
Selain masalah di atas ada yang mengasumsikan bahwa Intervensi Amerika Serikat karena adanya kepentingan yang lain. “Kepentingan yang ditegaskan sebagai kekuasaan merupakan kategori objektif yang berlaku secara universal”.[15] Amerika melakukan Intervensi ke somalia karena ingin mengusai.... “pintu gerbang selatan dari laut merah-jalur nadi perdagangan –dan ingin menguasai sumberdaya alam disana (khsusnya minyak bumi).[16]
Selain Intervensi Amerika Serikat, Uni Afrika juga telah menegerahkan An African Union Mission in Somalia (AMISOM) untuk melakukan itervensi ke Somalia dengan tujuan mendamaikan somalia dan atas nama kemanusian, namun sampai saat ini belum berhasil. Keagaglan tersebut juga diakibatkan dari Aliansi antara Ethiopia, Amerika Serikat, TFG dan adanya dukungan Internasional dalam melawan ICU sebagai kekuatan besar disomalia. Tetapi pemerintahan Somalia yang selalu bergantung pada kekuatan asing, sehingga melahirkan pemberontakan yang lebih besar “Anti-Pemerintah” merupakan penyebab utama konflik tidak dapat diselesaikan dan terjadinya esklasi Konflik.[17]
Kesimpulan
Awal munculnya konflik di Somalia karena perebutan kekuasaan, mulai dari perebuatan pemerintahan oleh Siad Barre, penumbangan kekuasaan oleh oposisi yang berakhir pada tahun 1991. Pasca Revolusi tidak ada pemerintahan yang signifikan sehingga terjadi perebutan kekuasaan antara klan, sehingga memunculkan peperangan antar saudara. Kemudia di lanjutkan konflik antara TFG dengan ICU dan telah melibatkan negara dari luar luar misal, USA dan Ethopia dan Terlibatnya Uni Afrika yang di wakili AMISOM. Namun sampai saat ini konflik Somalia belum usai dan sulit untuk di Selesaikan karena sudah mencapai eskalasi Konflik.
Referensi:
[1] M. Jusrianto
[2] Lihat, Saummil Hadi, 2008, Third Debate Dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta, Jalasutra, Hal. 83
[3] Maksud dari menggelimutinya adalah orang-orang yang belajar HI, sejarah dan disiplin ilmu lainnya yang ada kaitannya dengan sejarah.
[4] Lihat, Hans J. Margentahau, 2010, “Pilitik Antara Bangsa: Unsur Ideologi dalam politik Internasional”,Jakarta, YOI., Hal. 112-114
[5] Lihat, Francis Fakuyama,2005, “Penguatan Negara: Tata Pemerintahan Dan Tata Dunia Abad 21”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama., Hal. 60
[6] Lihat, Saummil Hadi, 2008, Third Debate Dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta, Jalasutra, Hal. 86-87
[7] Lihat, Margentahu, Op.Cit., Hal. 43. Yang dikuti dalam karya Thucydides, Buku V, paragraf 105.
[8] Lihat, Saummil Hadi Op.Cit., Hal. 181
[9] Baca lebih lanjut Francis Fakuyama., 2005, “Penguatan Negara: Tata Pemerintahan Dan Tata Dunia Abad 21”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama.
[10] Lihat, Francis Fakuyama, 2005, Penguatan Negara: Tata Pemerintahan Dan Tata Dunia Abad 21, Jakarta, Gramedia Pusataka Utama, hal.126
[11] ICU menjadi kekuatan besar dalam konstelasi politik somalia, awalnya akan didirikan oleh tokoh ulama Somalia Syaikh Muhammad Muallim Hasan di wilayah Tortigli, selatan Mogadeshu. Usaha tersebut telah digagalkan oleh oleh Jendral Muhammad farah Aidid yang berkuasa diselatan kota karena dapat mengganggu satabilitas kekuasaanynya. Namun pada tahun 1994 Mahkamah Islam berhasil dideklarasikan di wilayah utara Mogadeshu yang diketuai oleh Syaikh Ali Mahmud, deklarasi telah berhasil mendapat dukungan penuh dari beberapa kabilah di wilayah utara. Mahkama Islam pernah di bubarkan pada tahun 1997 oleh Komandan perang Somalia ‘Ali Mahdi Muhammad’ atas dukungan Pemerintah Ethiopia. Namun, pembubaran tersebut telah memperbaharui pergerakan Mahkamah Islam yang dulunya terbentuk dari atas berubah melakukan pergerakan/membentuk Mahkamah dari lingkup yang lebih kecil, yakni di setiap kabilah. Syaikh Hasan Thahir Uweis, anggota pendiri Mahkamah salah satu kabilah mengatakan bahwa awal mula mendirikan Mahkamah Islam di Mogadishu, yaitu“untuk menyelesaikan perselisihan dan konflik di antara anggota masyarakat. ” Pada tahun 2001, keinginan mendirikan mahkamah syariat Islam di Mogadeshu semakin menguat. Berbagai milisi dari berbagai kabilah telah sukses mendirikan mahkamah masing-masing. Bahkan Mahkamah Islam juga telah berdiri di wilayah Marka yang jauhnya sekitar 120 km dari Mogadeshu. Lalu di tahun 2005, dibentuklah Majelis Tinggi Uni Mahkamah Islam di Mogadeshu yang merupakan aliansi 11 Mahkamah Islam yang dipimpin oleh Syaikh Syarif Syaikh Ahmad.
[12]Lihat,Shofwan al Banna Choiruzzadd,2007, “Somalia, Tanah Horor Pasca Irak”, Http://www.wikipedia.com/perang_Mogadishu_2006.Html. (Di akses 25 Desember 2012)
[13] Lihat, Francis Fakuyama,2005, “Penguatan Negara: Tata Pemerintahan Dan Tata Dunia Abad 21”, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama., Hal. 127
[14]Lihat, Skripsi pada Bab III :Objek Penelitian dalam situs., Hal.92‑93 “http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/455/jbptunikompp-gdl-putricahay-22720-9-skripsi-i.pdf” (Di akses 27 Desember 2012)
[15] Lihat, Hans J. Margentahau, 2010, “Pilitik Antara Bangsa: Unsur Ideologi dalam politik Internasional”,Jakarta, YOI., Hal. 12
[16]Lihat, Abu ‘Abdillah Anis –hafizhohulloh-, 2011,Imaroh Islam Somalia: Front baru dalam rangka mengepung musuh Allah http://arrahmah.com/read/2011/12/08/16721-imaroh-islam-somalia-front-baru-dalam-rangka-mengepung-musuh-musuh-allah.html#axzz1hVvoMqaI (Di Akses 24 Desember 2011)
[17]Lihat, Skripsi pada Bab III :Objek Penelitian dalam situs., Hal.91,“http://elib.unikom.ac.id/files/disk1/455/jbptunikompp-gdl-putricahay-22720-9-skripsi-i.pdf” (Di akses 27 Desember 2012)
0 komentar:
Post a Comment