Terlepas dari pro dan kontra antara oposisi dan pendukung
pasangan Muslimin-Asman, tulisan ini lebih menyoal tentang kualitas demokrasi Enrekang
yang terefleksi dari eksistensi Kotak Kosong. Bagaimanapun, Kotak Kosong adalah
konsekuensi logis dari demokrasi, yang telah hidup dari pemilihan umum secara
serentak dari 2015 to 2017, dan kemudian masih eksis di perhelatan demokrasi
tahun ini. Sebelumnya tidak ada yang menduga bahwa Kotak Kosong akan muncul di Tanah Rigalla Tanah Riabusungi, karena
beberapa tokoh-tokoh Maspul baik yang beraktivitas di daerah maupun di luar
diprediksi berjuang untuk merebut, menduduki dan mempertahankan kekuasaan, demi
terlibat langsung berkontribusi besar dalam pembangunan wilayah dan masyarakat
Maspul yang lebih menjanjikan. Tapi nyatanya, mereka telah mundur teratur dan
tidak sampai pada pendaftaran atau bahkan mendapat dukungan partai politik,
apalagi memilih mandiri atau maju secara independen. Diduga beberapa hal yang
menjadi latar belakang yang menjadi penyebab kegagalan lahirnya “lawan” Muslimin-Asman kali ini, yang
kemudian berdampak pada persoalan kualitas demokrasi.
Pertama dan paling utama, persoalan persiapan cost-politic (anggaran politik) dan money-politic
(politik uang) yang mungkin tidak
mendukung. Mau tidak mau, uang yang dibutuhkan dalam menghadapai pesta
demokrasi di Indonesia tidak main-main banyaknya dan itu berlaku disetiap level
pemilihan umum di Tanah Air, termasuk di Kabupaten Enrekang. Bagaimanapun, cost-politic sah-sah saja adanya dalam
proses pemilihan umum, karena dalam menggerakkan aktivitas-aktivitas politik
pra-pemilihan butuh anggaran, seperti berkampanye. Namun, yang menjadi
permasalahan besar adalah menggunakan dana untuk menempuh berbagai jalan demi
mendapatkan dukungan dan legitimasi baik dari partai politik maupun dari
masyarakat. Sehingga pada akhirnya kandidat harus mempersiapkan dana yang tidak
sedikit, karena bukan hanya untuk anggaran politik tetapi juga memainkan
politik uang. Misalnya saja, dalam pemilihan umum tingkat provensi, membutuhkan
sedikitnya 70 milyar, sungguh angka yang fantastik. Bagaimana dengan di
tingkatan kabupaten-kota, nominalnya tidak sebesar itu tetapi pastinya main
puluhan milyaran juga, khususnya di Enrekang.
Apalagi, sudah menjadi nyanyian lama bahwa sebagian besar
masyarakat Enrekang lebih cenderung pragmatis atau instan, dengan menggunakan
istilah duri “peka’pannina doi’, eddamo
nalaba’ te’ suara” – “ada uang, ada suara untuk bapak”. Hal ini bukan hanya
berlaku pada pemilihan bupati-wakil bupati tetapi bahkan ditingkatan pemilihan
kepala desa maupun pemilihan legislatif, fenomena money politic sudah tidak tabu lagi. Dan yang paling sangat
disayangkan ketika para kandidat yang dikenal sebagai tokoh masyarakat malah
mendukung persoalan fatal tersebut dengan menggunakan cara-cara yang berlawanan
dengan amanat demokrasi atau nilai-nilai luhur
Massenrempulu – “Sipakatau dan Sipakatuo”.
Kemudian muncul sebuah tanya, apakah dalam pemikiran para tokoh-tokoh Maspul
yang kemudian memiliki potensi dan kemampuan luar biasa menganggap nominal dana
menentukan menang dan kalah?, bukan lagi percaya pada “integrity and people power tapi money power. Mungkin saja rasionalisasi ini menjadi kausal dasar
mengapa mereka memilih melanjutkan perjuangan dibidang masing-masing dan patah
semangat maju di Pilkada.
Selanjutnya adalah keberadaan partai politik sebagai
pelengkap jalannya konsepsi demokrasi. Partai politik yang didamba-dambakan
dalam sebuah negara demokrasi sebagai mesin pencetak calon-calon pemimpin yang
berkualitas. Namun, ternyata fenomena Kotak Kosong telah menyadarkan sekolompok
manusia Maspul yang sadar, bahwa sebagian besar partai politik di Enrekang
belum mampu menjalankan roda-roda organisasi semaksimal mungkin. Pada akhirnya,
muncullah asumsi “krisis kader” yang
berkualitas, tidak dapat dielakkan. Dan yang paling mengerikan lagi dalam
demokrasi, ketika sebenanrnya ada kader partai yang memiliki kemampuan
kepemimpinan luar biasa namun karena tidak punya cukup “UANG”, partai tidak
mempercayakannya maju merebut kekuasaan demi berkontribusi lebih kepada kemaslahatan
masyarakat. Inilah yang kemudian menciderai dan mengancam keutuhan kualitas
demokrasi kita, apalagi ketika partai lebih memilih jalan “money-oriented”, kepentingan partai jauh diatas kepentingan
masyarakat – “semoaga saja tidak berlaku pada partai-partai di Enrekang.”
Dua poin inilah yang kemudian menjadi tanda tanya besar
tentang kausal lahirnya Kotak Kosong di Enrekang. Apakah berdasarkan poin-poin
tersebut kemudian memaksakan para tokoh-tokoh Maspul yang lain mengurungkan
niatnya untuk berani bertarung dalam pesta demokrasi. Jika memang asumsi-asumsi
yang telah dikemukakan benar adanya, secara otomatis Kotak Kosong telah
mengancam kemajuan kualitas demokrasi di tanah yang subur dan tanah yang
diagung-agungkan itu. Disisi lain, jika fenomena Kotak Kosong bukan bermuasal dari
yang diasumsikan tersebut, dan terdapat motif-motif lain yang sah-sah saja
dalam demokrasi, berarti Kotak Kosong adalah peluang dan sekaligus tantangan
demokrasi kita, yang kemudian sebagai batu sandungan meningkatkan kualitas
demokrasi Maspul. Artinya, dengan hanya satu kandidat dapat mengantarkan pada
sebuah kepercayaan bahwa; pertama,
proses pemilihan umum tidak terlalu membutuhkan dan menghabiskan dana yang
besar meskipun nantinya ada gerakan memenangkan Kotak Kosong, salah satunya
dari PBB; Kedua, menghindari konflik
sosial yang sebelum-sebelumnya pernah terjadi; Ketiga, menjadi bukti bahwa partai-partai dan masyarakat masih
mempercayakan Muslimin melanjutkan pemerintahan periode 2018-2023 beradasarkan
kualitas kinerjanya selama ini.
[1]Pernah
dimuat di media online edunews.id: https://www.edunews.id/literasi/opini/kotak-kosong-tantangan-kualitas-demokrasi-di-enrekang/
0 komentar:
Post a Comment