Oleh: Muh Jusrianto
Ahok dan lagi-lagi Ahok
jadi trending topic, entah itu dalam
pusaran media online, media cetak maupun di social
media telah memperbincangkannya dalam nuansa dialektik nan hot. Tidak hanya sebatas itu, di dunia
realitas yang telah diprakarsai mulai dari manusia berekonomi melarat (Proletar)
sampai manusia bermodal materi uang segudang (Borjuis) juga sangat terlibat
bicara soal dia. Luar biasa bukan, si manusia yang berasal dari Belitung Timur
itu, dia mampu menjadikan dirinya dilirik media, diagungkan rakyat, dibenci dan
didatangi partai politik, dan memiliki harga fantastis. Memang sungguh kontroversi
si manusia satu itu, seperti halnya Zaskia Gotik yang mengatakan Pancasila
adalah Bebek Nungging, tapi makom dan
jalurnya sangat beda tajam. Satunya politisi luar biasa, satunya artis yang
sama sekali tak paham sejarah dan
luar binasa. Ilmunya-pun bukanlah
ilmu hipnotis seperti yang sering diperagakan Uya-Kuya, Dedy Corubuzier dan
segolongannya. Ilmu yang diperagakannya adalah bagaimana cara membangun magnet
yang memiliki kapasitas daya tarik kuat dengan gayanya sendiri – “A New Style
Leadership Model”.
Dalam obrolan
sehari-hari, kami kadangkala mengistilahkan sesuatu hal termasuk manusia adalah
“Barang” dan berumpamaan itu biasa diselipkan di forum-forum diskusi. Tidak
jadi masalah lah jika Ahok sapaan
dari Basuki Tjahja Purnama di baptis dengan istilah “Barang”. Bukan barang
rongsokan yang bagusnya ditendang ke Comberan tetapi barang yang sangat
berkualitas dan pantas mendapat predikat tingkat tinggi. Barang itu adalah
model baru dalam sejarah perjalanan pemimpin-pemimpin di Tanah Air tentang
sebuah karakter, model kepemimpinan dan kinerja. Coba saja baca catatan-catatan
sejarah atau cari di media-media
lain, ada tidak yang menyerupai atau hampir mirip dengan style Ahok dalam persoalan karakter pemimpin. Saya berasumsi bahwa
tidak ada, karena mana ada pemimpin-pemimpin sepertinya di bumi pertiwi mulai
dari jaman keemasan Bendi sampai jaman teknologi saat ini. Pernah tidak SBY, Ridwan
Kamil, Risma, SBY, apalagi Jokowi dan lain-lainnya keluarin kata-kata kampret, bangsat atau taik lho,
apalagi langsung di media yang disaksikan rakyat se-nusantara. Hanya si model barang baru itulah yang berani
mengucapkan kata-kata yang berkonotasi jorok dan dijustice tidak bermoral itu di depan publik.
Ya begitulah budaya di Tanah Air, mulai
dari sikap, prilaku dan cara bertutur kata harus menampakkan sopan santun dan
keramah tamahan. Jika dibenturkan dengan budaya, wajar saja jika Ahok dijuluki
pemimpin tidak bermoral tetapi masa cuma sebatas berkata seperti itu langsung
diadili “berkata tanpa berpikir dan mulut jorok”. Ada sebuah bahasa bijak
“mendingan jujur apa adanya daripada busuk dan keji di belakang”. Apalagi kan sebenarnya bahasa-bahasa jorok
seperti itu juga bagian dari bingkaian budaya yang mengakar di tengah-tengah
masyarakat Indonesia. Sundala, suntili
dan tailaso masih bertahan di kalangan anak muda di Jasirah Sulawesi, apalagi
kata-kata anjing, jangkrik, jancok atau
asu yang juga mendarah daging di Jawa, dan daerah-daerah lain dari Sabang
sampai Merauke pastinya juga punya kata-kata khas jorok. Atau mungkin saja Ahok biasa mengucapkan istilah yang
lebih sangar jika dibelakang layar,
semisal anjing, asu, sundala, jancok lho atau
apalah. Bicara soal kemungkinan berarti bisa jadi tidak.
Ahok yang sudah
terbiasa ceplas-ceplos bukanlah problema
bagi sebagian manusia-manusia yang menghuni DKI Jakarta. Bisa dilihat, diamati
dan ditahu dengan apa adanya pada saat ngobrol-ngobrol di jalanan bersama
pedagang kaki lima, supir gojek, taksi dan sejenisnya, bahkan para intelek dan
golongan lain mengakui “Ahok Luar Biasa dan Konkrit”. Dimana, Jakarta bukan
lagi Ibu Kota yang mudah dihantam banjir, kota nampak bersih, tempat tinggal
baru bagi warga yang rumahnya digusur, para kaum birokrat tidak beres dihajar, Kalijodo
tempat prostitusi dihancurkan dan tindakan-tindakan korupsi terminimalisir. Kerja-kerja
konkritnya dan berefek positif langsung dalam waktu cepat terhadap rakyat telah
mendominasi gaya bicaranya yang to the
point. Rakyat tetap mengagungkannya dan rakyat berdatangan jadi relawan
“Teman Ahok” . Itu menjadi bukti secuil dan berepengaruh besar, rakyat di jaman
edan ini tidak terlalu melihat omongan pemimpin yang sering ngeluarin kata-kata jorok karena
realitasnya rakyat butuh kesejahteraan, bukan retorik berdasarkan janji-janji yang
beraroma surga belaka. Benar untaian Iwan Fals dan bisa dijadikan manifesto
perjuangan kesejahteraan dalam lagusnya “...masalah moral masalah akhlak, biar
kami cari sendiri, urus saja moralmu urus saja akhlakmu, pereaturan yang sehat
yang kami mau...”.
Ahok selain menyandang
istilah barang, juga diibaratkan Kondom yang dapat dimaknai “semakin berisi
semakin tegang dan berdiri gagah berani tanpa lembek atau loyo sedikit-pun”. Dia tidak bisa lagi dianalogikan
seperti Padi yang memiliki arti filosofis “semakin berisi semakin merunduk”.
Lihat saja laga Ahok selama ini, yang terkonstruk di pikiran adalah semakin
kesini-sini Ahok menampakkan “kecongkakkan” yang tidak pernah dilakukan
pemimpin-pemimpin lainnya. Dia semakin berani, tegas dan blak-blakkan dan tetap
diringi ucapain kata-kata kesukaannya yang tidak disukai golongan-golongan
tertentu. Kesombongan lainnya, dia memilih jalan independen dan meninggalkan
partai yang berjasa kepadanya. Lahirlah sebuah untaian menarik, Ahok ibarat
“Kacang Lupa Kulit”, berani meninggalkan moncong hitam dan Ibu Mega sang Ratu beserta selir-selirnya. Ahok kemudian
tambah menjadi-jadi seperti Kondom yang semakin berdiri tegak dan siap sedia
karena modela kerja-kerja konkritnya selama menjabat sebagai Wakil Gubernur dan
kemudian Pelaksana Gubernur.
Beberapa hari setelah
deklarasi Ahok fix maju melalui jalur
independen, terdengar kabar dan diberitakan bahwa ada partai-partai merapat ke
Ahok. Bukan Ahok lagi yang dimintai mahar tetapi ada partai-partai yang pengen
dipinang Ahok tanpa kontrak-kontrak politik. Bukankah dukungan sukarela
partai-partai politik kepada Ahok akan semakin meningkatkan adrenalin
kecongkakannya, misalnya saja yang diberitakan media-media online tentang hasil obrolan Suryah Paloh dan Ahok. Dari
penyampaian Ahok dan ditinjau dari kajian semiotika, Surya Paloh sebagai
seorang politisi kelas kakap nampaknya pasrah karena Ahok diyakininya berani dan dapat
membereskan Jakarta. Hebatnya lagi, muncul desas-desus Ahok baru bisa
dikalahkan dengan bersatunya partai-partai politik dalam koalisi partai bersatu
melawan Ahok. Seperti Sapu Lidi saja yang pintarnya main keroyokan tetapi
bukanyya itu utopis, sesuatu yang tidak akan terwujud karena muatan kepentingan
sangat besar.
Arah angin telah
berhembus ke Barang yang ibarat Kondom itu, biarlah partai-partai politik yang
ingin melawan Ahok kelingkungan mencari kandidat yang pas diusung dan menjanjikan bisa menang. Dari sekian banyak
pemimpin-pemimpin di Tanah Air dengan tidak jadinya Risma dan Ridwal Kamil maju
sebagai kandidat, belum ada yang dapat menyeimbangi popularitas dan
elektabilitas Ahok maju di N1 DKI Jakarta. Masa Ahmad Dhani, ya bagusnya bertahan jadi mususi saja;
Yusril Ihza Mahendra, bagusnya didukung jadi konseptor dan itu lebih mulia; Adhyaksa
Daud, masa mau turun level gara-gara
ingin menunjukkan taji, sungguh sulit;
Ataukah Mischa Hasnaeni Moein yang
memprolamirkan dirinya si wanita
emas, tidak populer banget tapi
namanya juga usaha. Lantas siapa yang pas
melawan Barang Ibarat Kondom itu...Wallahu
Alam, semoga partai-partai politik khususnya PDIP yang kebakaran jenggot
bisa mendapat petunjuk, amin.
0 komentar:
Post a Comment