Konflik yang
berkepanjangan antara Masyarakat Rohingya dengan masyarakat Rhakine telah
memakan korban, sedikitnya 6000 nyawa melayang. Etnis Rohingya sebagai kelompok
minoritas menjadi korban dari tindakan konflik kekerasan yang luar biasa. Bukan
hanya pembunuhan massal atau genosida (pembasmian) yang terjadi. Masyarakat
Rohingya harus mengalami pengusiran untuk keluar dari bumi Myanmar – bumi yang
menjadi tumpah darah mereka. Tercatat sekitar 800.000 etnis Rohingya mencari
suaka politik ke negara lain, khususnya ke negara-negara ASEAN seperti
Indonesia, Filipina dan Malaysia.
Tindakan
diskriminasi, kekerasan, pembantaian, pembunuhan, pembasmian massal (genosida),
dan pengusiran yang terjadi pada etnis Rohingya sejatinya sudah tergolong
sebagai tindakan pelanggaran HAM berat. Tragedi Rohingya menjadi bukti nyata
bahwa masyarakat Rhakine yang terlibat langsung sebagai pelaku serta mendapat
sokongan dari militer dan pemerintah Myanmar, telah mengabaikan sisi
kemanusiaan. Oleh karena itu, menjadi tuntutan bagi Indonesia mengambil peran
besar untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa etnis Rohingya. Pijakan
tentunya saja didasarkan atas panggilan semangat kemanusiaan. Bukankah perjuangan
nilai-nilai kemanusiaan bagi pemerintah Indonesia telah ditegaskan dalam
Pancasila dan UUD 1945.
Indonesia
dalam melibatkan diri, bagaimanapun harus tetap menghargai, menghormati dan
mematuhi hasil konsensus negara-negara ASEAN yaitu non intervention prinsiple. Artinya, ASEAN termasuk
anggota-anggotanya tidak boleh melakukan intervensi terhadap masalah internal
yang dihadapi oleh salah satu negara anggota. Namun negara-negara ASEAN
memiliki beban tanggungjawab moral untuk menyelesaikan bentuk-bentuk pelanggaran
HAM, apalagi yang bersifat berat yang terjadi di wilayah ASEAN. Sebagaimana
salah satu tujuan utama yang ada dalam piagam ASEAN: “to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law,
and to promote and protect human right and fundamental freedom, with due regard
to the rights and responsibilities of the member state of Asean.” Sekali
lagi, Indonesia sudah selayaknya untuk terlibat aktif dalam kasus ini.
Pemerintah bisa menggunakan pendekatan-pendeatan efektif dan efisien yang tidak
bertolakbelakang dengan prinsip non-intervensi.
Pertama,
Multi-Track Diplomacy. dalam konteks
ini yaitu relasi antara pemerintah Indonesia dan Non Government Organization (NGO) atau LSM. Indonesia melakukan
kerjasama dengan NGO untuk menyuarakan nasib masyarakat Rohingya di Myanmar ataupun
terlibat membantu etnis Rohingya yang berada di negara-negara lain. Kedua, Diplomacy Bilateral. Dalam hal
ini, Indonesia melakukan diplomasi politik dalam bingkai nilai-nilai
kemanusian. Dalam artian, etnis Rohingya butuh diperlakukan sebagai manusia
seperti halnya masyarakat Myammar lainnya. Ketiga,
ASEAN Institution Instrument. Di
sini, Indonesia menjadikan institusi ASEAN sebagai instrumen untuk melakukan
konsolidasi dengan negara-negara ASEAN. Konsolidasi ditujukan untuk mendorong
pemerintahan Myanmar secepatnya menyelesaikan permasalahan Rohingya secara
utuh.
Apabila
upaya-upaya di atas sudah dilalui pemerintah Indonesia dan kemudian tidak
mencapai target dan tujuan, tentunya harus ada rencana tindak lanjut lainnya.
Negara-negara ASEAN harus menggunakan Pressure
Approach kepada pemerintah Myanmar sebagai wujud dari manifestasi
kesepakatan Piagam ASEAN. Jika perlu pemutusan hubungan ekonomi dan hubungan
diplomatik dilakukan, yang diawali Indonesia dan mengajak negara-negara lain
juga melakukannya. Desakan itu dilakukan supaya Myanmar dapat menyelesaikan
masalah Rohingya mulai dari akar-akarnya, seperti mencabut isi dari Burma Citizenship Law yang terbit pada
1982 yang berbunyi, “warga etnis Rohingya
dinyatakan sebagai non-national atau bukan warga negara.” Selain pemerintah
Myanmar mengakui etnis Rohingya diakui sebagai warga negara sah Myanmar, dan juga wajib
menggaransikan rasa aman dan damai kepada masyarakat Rohingya secara legal standing.
[1]Tulisan
ini pernah dimuat pada 29 Februari 2016 di media online Republika.Co.Id: m.republika.co.id/berita/jurnalisme-warga/wacana/16/02/29/o3acm6336-menanti-peran-nyata-indonesia-dalam-konflik-rohingya.
Juga dimuat pada 1 Maret di media Mimbar Indonesia: www.mimbarindonesia.com/2016/02/peran-indonesia-dalam-pusarana-konflik.html?m=1.
Juga dijadikan berita pada 29 Februari di Suara.com:
m.suara.com/news/2016/02/29/151929/konflik-rohingya-ini-tiga-hal-yang-perlu-diperhatikan-indonesia.
0 komentar:
Post a Comment