Pesta
demokrasi skala nasional tahap pertama telah usai ditandai dengan selesainya
Pemilihan Legislatif (Pileg) pada 9 April 2014. Hasil perolehan suara sementara
partai politik (Parpol) beraliran agama Islam jauh dibawah 20 persen sebagai
syarat Parpol mengusung calon presiden (Capres) dan calon wakil presiden
(Cawapres). Sedangkan Parpol non-beraliran Islam nasibnyapun sama, juga tidak ada
satupun yang suaranya sampai di atas 20 persen. Satu-satunya solusi bagi semua partai
politik terutama partai beraliran Islam untuk maju bertarung di pesta demokrasi
tahap kedua pada Juli mendatang adalah koalisi.
Keharusan Bekoalisi
Parpol
keagamaan yang terlibat dalam pesta demokrasi tahap pertama ditahun 2014
diantaranya: PKB, PKS, PAN, PBB, Golkar, Gerindra, Hanura, PKPI dan Nasdem. Partai
berbasis massa Islam, ada PKB, PAN dan PBB yang semuanya memperoleh suara yang sangat
mengkhawatirkan. Diman sangat jauh dari ambang batas untuk maju ke pertarungan Pilpres.
Partai-partai beraliran Islam, perolehan suaranya dibawah tiga partai
non-keagamaan. Dapat dilihat dari perolehan suara partai keagamaan yang
tertinggi perolehan suaranya (suara PKB 9,58 persen). PDIP sebagai partai
nasionalis memimpin perolehan suara (19,52 persen), Partai Golkar berada di urutan
kedua dan partai Gerindra di urutan ketiga.
Ketiga
partai non-keagamaan di atas mudah melakukan koalisi dengan partai lain untuk
mengusung Capres dan Cawapresnya. Berbeda dengan partai-partai beraliran Islam
yang harus bekerja keras untuk mendapatkan koalisi. Namun, terdapat satu model
yang akan mepermudah partai Islam dan berbasis massa Islam dalam mengusung
tokoh Islam. Tokoh Islam yang paling representatif untuk mewakili semua partai
yang beraliran Islam. Model itu adalah model klasik yang sudah lama di
wacanakan yaitu bersatunya partai Islam dan berbasis massa Islam.
Agenda Koalisi
Koalisi yang akan ditempuh oleh
partai-partai politik semakin meningkatkan konstelasi perpolitikan nasional. Hal
tersebut dapat dilihat dari peta perpolitikan yang coba dibangun baik
partai-partai keagamaan maupun non-keagamaan. Partai Islam dan partai berbasis
massa Islam dapat disatu paketkan menjadi partai beraliran agama Islam.
Gabungan hasil perolehan suara semua partai beraliran Islam sebesar 32 persen. Berarti
ketika semua partai beraliran Islam disatukan atau berkoalisi, partai beraliran
Islam dapat maju di Pilpres mendatang. Pertanyaan yang kemudian lahir adalah
apakah semua partai beraliran Islam dapat disatukan – “integration agenda” – ataukah sebatas harapan mandul yang
hanya ilusi belaka?.
Bersatunya
semua partai beraliran Islam dalam satu wadah persekutuan masih sebatas mimpi
atau angan-angan. Sesuatu yang diimpikan supaya dapat terealisasi membutuhkan
perjuangan besar, perjuangan yang tidak main-main. Dalam sejarah perjalanan
partai politik beraliran Islam, pada waktu Orde Baru PPP dapat dikategorikan
sebagai satu-satunya partai yang beraliran Islam tetapi tidak pernah memimpin
perolehan suara terbanyak. Dibandingkan dengan Pemilihan Umum pada tahun 1955,
walaupun partai Islam banyak tapi partai Masyumi dan partai NU masing-masing di
urutan kedua dan keempat.[2]
Bersatunya partai Islam dan berbasis
massa Islam masih abu-abu walaupun beberapa hari yang lalu telah dimuat surat
kabar Kompas, MUI (Majelis Ulama Indonesia) beserta 66 perwakilan Organisasi
Masyarakat Islam (ORMAS Islam) melakukan pertemuan atau dikenal dengan Forum
Ukhuwah Islamiyah dan MUI. Namun, pertemuan itu belum dapat menggaransikan akan
ada persekutuan antara partai Islam dan partai berbasis massa Islam. MUI hanya mendapat
amanah agar ada silaturahmi antara MUI dengan pimpinan partai-partai Islam dan
berbasis Islam. Motivasi menyatukan partai Islam dan partai berbasis massa
Islam yaitu terwujudnya harapan-harapan konstituen muslim. Sebagaimana yang
dikatakan oleh Basri Barmanda, “Kami mengetuk partai Islam dan Partai berbasis
Islam agar menunaikan amanah dan tanggungjawab memenuhi harapan konstituen
Muslim, bagi adanya koalisi strategis partai Islam dan berbasis massa Islam
maupun dengan partai2 lain, dimana Partai Islam yang menentukan dalam
menghadapi Pilpres 2014”.[3]
PKS sendiri
sebagai partai Islam memiliki harapan tinggi agar bersatunya partai Islam. Majelis
Syuro PKS, Al Muzmmil Yusuf mengatakan bahwa, “Dengan suara 30 persen, saya
mengajak lima Parpol Islam duduk bersama membahas agenda utama umat dan
bangsa...termasuk membahas siapa capres-cawapres yang layak mewakili keumatan
dan kebangsaan”. Juga terdapat pertemuan antara 17 Ormas Islam dan Pengurus
Besar NU yang telah menghasilkan tim kecil yang diketuai Said Aqil (Ketua PBNU)
dan Din Syamsuddin (Ketua Umum PP
Muhammadiyah).[4]
Beberapa deskripsi diatas membuka sedikit peluang partai beraliran Islam bisa teritegrasikan
dan terwujudnya harapan masyarakat muslim agar semua partai Islam bersatu.
Skeptisme Koalisi
Ketika melihat prilaku beberapa
Parpol saat ini menimbulkan skeptisme terhadap akan bersatunya partai Islam. Skeptisme
lahir karena melihat kondisi internal PPP yang terbagi dua kubu antara Ketua
Umum PPP dan beberapa DPW PPP. Prilaku Suryadarma Ali yang dikatakan melanggar
etika orgnaisasi menjadi penyebab perpecahan internal PPP menjadi dua. Sedangkan
PKB dapat diasumsikan partai yang tidak konsisten. Dimana dulunya Rhoma Irama diusung
PKB menjadi Capres berhasil mendongkrak suara PKB, tetapi paska Pileg Muhaimin
Islkandar menggeser posisi Rhoma baik maju menjadi Capres maupun Cawapres. Padahal
Salahuddin Wahid dalam tulisannya menganggap Rhoma sebagai tokoh yang tampil
secara alamiah, tokoh- yang populer dan harus didorong untuk maju sebagai
capres/ cawapres.[5]
Di sisi lain ketika menilik pola gaul elite politik serta model pendekatan
antara Parpol dalam beberapa hari belakangan ini, ada isyarat masih adanya
kemungkinan koalisi yang tidak didasarkan atas kesamaan ideologi atau platfrom
partai politik, seperti pendekatan antara Geirndra, PKS, dan PPP.[6]
Skeptisme
lainnya ketika melihat kondisi partai Islam dan partai berbasis massa Islam
secara universal semakin meningkatkan skeptisme beberapa kalangan. Pertama,
ketidakberanian partai Islam menguatkan identitas keislaman dan berikhtiar
menjadi partai inklusif.[7] Kedua, PKS-pun yang motivasinya tinggi untuk
menyatukan partai Islam tetapi dalam konteks saat ini, dia bergerak dari partai
ideologis menjadi partai elektoralis. Dimana orientasinya bukan lagi syariah,
tapi suara.[8]
Ketiga, persfektif kelas mestinya juga menjadi kebijakan-kebijakan partai Islam
nantinya yang harus diperjuangkan.[9] Selain itu Cak Nur di
tahun 1970-an mengatakan “Islam Yes, Partai Islam No”. Rasionalisasi Cak Nur
untuk mengungkapkan hal seperti itu karena melihat kesalahan patai Islam dalam
panggung politik nasional setidaknya mengindikasikan tiga hal yang perlu dikaji
lebih lanjut.
Pertama,
dalam masyarakat Indonesia yang demikian plural dan negara menjamin kebebasan
hidup beragama, mungkin saja yang lebih tepat adalah partai terbuka, inklusif,
tanpa harus membatasi dirinya secara eksklusif berdasarkan ideologi agama
mengingatmasyarakat sudah religius. Kedua, suka atau tidak, sekularisasi sistem
politik di Indonesia semakin menguat, yaitu yang berdasarkan argumentasi dan
wacana rasional berdasarkan konstitusi sebagai negara kebangsaan, bukannya
negara agama. Ruang publik diatur konstitusi dan undang-undang negara, bukan
institusi agama. Agama bergerak dan tumbuh pada wilayah individu dan masyarakat
yag diwadahi oleh ormas, tetapi tidak mengatur negara. Ketiga, partai keagamaan
selama ini tidak mampu menampilkan kader-kader dan sosok negarawan dengan visi
dan programnya yang unggul dan terbukti mampu menyelesaikan tantangan besar
bangsa serta dirasakan langsung oleh masyarakat banyak.[10] Ketiga sinyalamen diatas
kemungkinan besar masih menjamur sampai saat ini di antara partai-partai Islam.
Dari
penjelasan di atas dapat ditarik sebuah hipotesa bahwa terintegrasinya partai
beraliran Islam sangat kecil peluangnya. Namun kita sebagai kaum akademis: Peta
perpolitikan dapat berubah dengan cepat baik dari detik ke detik, menit ke
menit, jam ke jam dan seterusnya. Untuk itulah kita sebagai generasi umat dan
bangsa bisa memahami politik dengan baik sebagaimana adagium yang berbunyi:
“siapa yang buta ideologi maka dimakan ideologi, siapa yang buta politik maka
dimakan politik”.
[1] Muh. Jusrianto
Mahasiswa Ilmu Hubungan Internasional angakatan 2010 sang pemuda yang sadar
akan perlu banyak belajar.
[2]
Baca, Harun Husein, “Bermula Dari Aliran, Berakhir di Panngkuan Politik Kartel”,
Republika, (Kamis, 31 Januari 2013).
[3] Baca, (Kompas, 22
April 2014), “Koalisi Parpol Islam: MUI Siap Fasilitasi Petemuan”.
[4]
Baca, (Kompas, Kamis 17 April 2014), “Partai Islam Didorong Berkoalisi Usung
Capres-Cawapres”.
[5] Lihat, Salahuddin
Wahid, (Kompas, Jum’at 8 Februari 2013), “Mencari Pemimpin”.
[6] Baca, Kiki
Syahnakri, (Kompas, Senin, 21 April 2014), “Koalisi dan Zaken Kabinet”.
[7] Baca, Harun Husein,
(Republika, Kamis, 31 Januari 2013), “Bepacu Dalam Keremangan Ideologi:
Partai-Partai Hanyut Dalam Selera Pasar dan Cenderung Catch All”.
[8] Baca, (Republika, Kamis,
31 Januari 2013), “Wawancara Harun Husein dengan Ari Dwipayan, “Semua menuju
Partai lektoralis”.
[9] Baca, (Republika, Kamis,
31 Januari 2013), “Wawancara Harun Husein dengn Fachry Ali, “Ideologi Partai
Kita Ecek-Ecek”.
[10] Baca, Komaruddin
Hidayat, (Kompas,Rabu, 20 November 2013), “Menimbang Partai Agama”.
0 komentar:
Post a Comment