GBHN (Garis-Garis Besar Haluan Negara) yang sudah lama ditiadakan alias mati
suri kembali disuarakan oleh PDI Perjuangan melalui Rapat Kerja Nasional 2016
(RAKERNAS 1 PDI-P). Wacana GBHN yang kembali dimunculkan dan dilemparkan ke
tengah-tengah public menuai perdebatan,
apakah relevan atau sudah tidak lagi. Tentunya respon yang diluncurkan oleh
berbagai macam pihak, ada yang pro dan ada juga yang kontra. Kontra karena
paska GBHN digugurkan, dilahirkan konsepsi RPJP (Rencana Pembangunan Jangka
Panjang) dan RPJM (Rencana Pembangunan Jangka Menengah). RPJP yang dirancang
untuk digunakan selama 20 tahun (2005-2025), sedangkan RPJM yang hanya
dirancang dalam rentan waktu lima tahunan atau satu periode pemerintahan. Kedua
rancangan diatas dinggap dapat menggantikan GBHN yang dianut pada orde lama dan
orde baru. Berbeda dengan respon positif yang berdatangan dari berbagai macam
kalangan mulai dari tokoh agama seperti Muhammadiyah dan NU, pemimpin partai
seperti Brabowo, Wiranto dan tokoh-tokoh bangsa lain seperti Akbar Tandjung. Apalagi
GBHN yang disuarakan oleh PDI-P juga refleksi dari mandat MPR 2009-2014, dan
juga mendapat dukungan dari Forum Rektor Indonesia sekaligus membuatkan naskah
akademik GBHN. Dikarenakan GBHN dipercaya memiliki power yang lebih sebagai manifestasi cita-cita bangsa yang termuat
dalam Pancasila dan UUD 1945.
Inspirasi dan motivasi PDI-P yang kemudian mendapat support yang positif dari berbagai macam kalangan dalam
mengembalikan implementasi GBHN adalah semangat mengantarkan Indonesia pada
pembangunan yang lebih terarah dan terencana. Tanpa GBHN atau istilah digunakan
PDI-P “Program Pembangunan Semesta Berencana”, problematika kebangsaan,
kenegaraan dan kemasyarakat tidak terselesaikan dengan baik, cepat dan tepat.
GBHN dapat menjadi solution istrument
bagi ketimpangan ekonomi, kesenjangan sosial dan permasalahan-permasalahan
kebangsaan dan kemasyarakatan yang lainnya.
Juga terkait dengan pembangunan yang berjalan dibeberapa periode belakangan ini
atau terhitung paska reformasi yang mengalami tumpang tindih antara pusat dan
daerah. Program dari pemerintahan ke
pemerintahan yang tidak suistanable (berkelanjutan),
dan yang menjadi kekuatan pemerintah baik pusat maupun daerah selama ini dalam
merumuskan program kerja dan menkontestualisasikannya hanya terletak pada visi
misi. Tidak heran jika Megawati Soekarno Putri lantang mengeluarkan statemen
bahwa pemerintah dalam beberapa periode belakangan ini, bahkan pemerintahan
yang berlangsung saat ini adalah pemerintahan “visi misi”.
Konsepsi memunculkan kembali GBHN juga mengembalikan salah satu kekuatan
Indonesia sebagai negara besar karena secara otomatis rumusan GBHN berangkat
dari kebutuhan dan kepentingan rakyat atau GBHN memuat kedaulatan rakyat yang
harus dijalankan dan dipenuhi oleh pemerintah. Mengapa tidak?, jika mengamati
secara seksama arti, maksud dan tujuan adanya GBHN, muatan yang terkandung
didalamnya penuh dengan cita-cita mulia dan besar yang berpihak pada rakyat. Pada
dasarnya, mengembalikan GBHN eksis kembali dalam proses pembangunan bangsa
memiliki implikasi yang positif bagi bangsa Indonesia kedepannya. Apalagi
dihubungkan dengan kondisi kekinian baik secara nasional maupun internasional.
Artinya adalah tantangan yang dihadapi Indonesia kedepannya baik di wilayah
internal maupun eksternal semakin besar dan kompleks. Untuk itu, perlu sebuah
gagasan-gagasan baru yang sifatnya progresif, dinamis, fleksibel yang berfungsi
sebagai pelengkap Pancasila dan UUD 1945 yang kemudian ditafsirkan, digerakkan
dan dijalankan pemerintah dalam program-program kerjanya.
Perjuangan mengembalikan GBHN dan menjalankannya kembali seperti sedia
kala bukanlah sesuatu yang mudah seperti kemudahan mambalikkan telapak tangan.
Indonesia adalah negara konstitusional dan menganut sistem demokrasi yang patut
dipertahankan dan dijaga dengan baik. Maksudnya konstitusional adalah beberapa
pasal dalam UUD akan mengalami perubahan seperti pada bagian BAB II tentang
Majelis Permusyarawatan Rakyat (MPR) yang termuat dalam pasal 3 dan 4,
begitupun dengan BAB III tentang Kekuasaan Pemerintahan Negara yang memuat
beberapa pasal. Oleh karena itu, perlu melakukan amandemen UUD, apakah sifatnya
amandemen terbatas atau tidak (walaupun yang diwacanakan amandemen terbatas)?. Sifat
amandemen pastinya menyesuaikan dengan kondisi yang ada dan bagaimana
meminilasir konflik antar lembaga – “trias politica” – khususnya MPR dan
pemerintah. Selain itu, juga yang paling penting diperhatikan adalah suara
mayoritas rakyat Indonesia, bagaimana respon rakyat?, apakah positif atau
negatif?. Tentunya respon seperti apa yang datang dari kalangan masyarakat
harus diperhatikan dan menjadi pertimbangan bagi pemerintah dan MPR nantinya.
Pertimbangan, apakah relevan untuk mengembalikan GBHN atau tidak ketika berbagai
pendekatan digunakan, diantaranya historis (berlalu-sekarang-akan datang),
hukum, politik, sosial budaya dan ekonomi.
0 komentar:
Post a Comment