Kotak Kosong: Tantangan Kualitas Demokrasi di Enrekang[1]


Kotak Kosong, harus diakui, adalah fenomena baru dalam demokrasi kita di Indonesia, khususnya di Enrekang atau biasa dikenal dengan nama Maspul (Massenrempulu). Ketiadaaan tokoh-tokoh Maspul yang memberanikan diri dalam pertarungan menduduki kekuasaan melawan petahana di pemilihan bupati dan wakil bupati periode 2018-2023, telah benar-benar menguji kualitas demokrasi Maspul. Dimana, fenomena ini tidak pernah terjadi sebelum-sebelumnya dalam sejarah pemilihan umum di Enrekang, yang kemudian menbentuk perdebatan antara kelompok pro dan kontra tentang apakah kotak kosong mendatangkan banyak keuntungan atau kerugian dalam kualitas demokrasi di Enrekang. Tentunya di satu sisi, para oposisi dari petahana telah melakukan kritikan keras tentang kausalitas proses petahana menjadi satu-satunya calon bupati, namun disisi lain, pendukung si petahana melakukan hal yang sebaliknya.
Terlepas dari pro dan kontra antara oposisi dan pendukung pasangan Muslimin-Asman, tulisan ini lebih menyoal tentang kualitas demokrasi Enrekang yang terefleksi dari eksistensi Kotak Kosong. Bagaimanapun, Kotak Kosong adalah konsekuensi logis dari demokrasi, yang telah hidup dari pemilihan umum secara serentak dari 2015 to 2017, dan kemudian masih eksis di perhelatan demokrasi tahun ini. Sebelumnya tidak ada yang menduga bahwa Kotak Kosong akan muncul di Tanah Rigalla Tanah Riabusungi, karena beberapa tokoh-tokoh Maspul baik yang beraktivitas di daerah maupun di luar diprediksi berjuang untuk merebut, menduduki dan mempertahankan kekuasaan, demi terlibat langsung berkontribusi besar dalam pembangunan wilayah dan masyarakat Maspul yang lebih menjanjikan. Tapi nyatanya, mereka telah mundur teratur dan tidak sampai pada pendaftaran atau bahkan mendapat dukungan partai politik, apalagi memilih mandiri atau maju secara independen. Diduga beberapa hal yang menjadi latar belakang yang menjadi penyebab kegagalan lahirnya “lawan” Muslimin-Asman kali ini, yang kemudian berdampak pada persoalan kualitas demokrasi.
Pertama dan paling utama, persoalan persiapan cost-politic (anggaran politik) dan money-politic (politik uang) yang mungkin tidak mendukung. Mau tidak mau, uang yang dibutuhkan dalam menghadapai pesta demokrasi di Indonesia tidak main-main banyaknya dan itu berlaku disetiap level pemilihan umum di Tanah Air, termasuk di Kabupaten Enrekang. Bagaimanapun, cost-politic sah-sah saja adanya dalam proses pemilihan umum, karena dalam menggerakkan aktivitas-aktivitas politik pra-pemilihan butuh anggaran, seperti berkampanye. Namun, yang menjadi permasalahan besar adalah menggunakan dana untuk menempuh berbagai jalan demi mendapatkan dukungan dan legitimasi baik dari partai politik maupun dari masyarakat. Sehingga pada akhirnya kandidat harus mempersiapkan dana yang tidak sedikit, karena bukan hanya untuk anggaran politik tetapi juga memainkan politik uang. Misalnya saja, dalam pemilihan umum tingkat provensi, membutuhkan sedikitnya 70 milyar, sungguh angka yang fantastik. Bagaimana dengan di tingkatan kabupaten-kota, nominalnya tidak sebesar itu tetapi pastinya main puluhan milyaran juga, khususnya di Enrekang.
Apalagi, sudah menjadi nyanyian lama bahwa sebagian besar masyarakat Enrekang lebih cenderung pragmatis atau instan, dengan menggunakan istilah duri “peka’pannina doi’, eddamo nalaba’ te’ suara” – “ada uang, ada suara untuk bapak”. Hal ini bukan hanya berlaku pada pemilihan bupati-wakil bupati tetapi bahkan ditingkatan pemilihan kepala desa maupun pemilihan legislatif, fenomena money politic sudah tidak tabu lagi. Dan yang paling sangat disayangkan ketika para kandidat yang dikenal sebagai tokoh masyarakat malah mendukung persoalan fatal tersebut dengan menggunakan cara-cara yang berlawanan dengan amanat demokrasi atau nilai-nilai luhur Massenrempulu – “Sipakatau dan Sipakatuo”. Kemudian muncul sebuah tanya, apakah dalam pemikiran para tokoh-tokoh Maspul yang kemudian memiliki potensi dan kemampuan luar biasa menganggap nominal dana menentukan menang dan kalah?, bukan lagi percaya pada integrity and people power tapi money power. Mungkin saja rasionalisasi ini menjadi kausal dasar mengapa mereka memilih melanjutkan perjuangan dibidang masing-masing dan patah semangat maju di Pilkada.
Selanjutnya adalah keberadaan partai politik sebagai pelengkap jalannya konsepsi demokrasi. Partai politik yang didamba-dambakan dalam sebuah negara demokrasi sebagai mesin pencetak calon-calon pemimpin yang berkualitas. Namun, ternyata fenomena Kotak Kosong telah menyadarkan sekolompok manusia Maspul yang sadar, bahwa sebagian besar partai politik di Enrekang belum mampu menjalankan roda-roda organisasi semaksimal mungkin. Pada akhirnya, muncullah asumsi “krisis kader” yang berkualitas, tidak dapat dielakkan. Dan yang paling mengerikan lagi dalam demokrasi, ketika sebenanrnya ada kader partai yang memiliki kemampuan kepemimpinan luar biasa namun karena tidak punya cukup “UANG”, partai tidak mempercayakannya maju merebut kekuasaan demi berkontribusi lebih kepada kemaslahatan masyarakat. Inilah yang kemudian menciderai dan mengancam keutuhan kualitas demokrasi kita, apalagi ketika partai lebih memilih jalan “money-oriented”, kepentingan partai jauh diatas kepentingan masyarakat – “semoaga saja tidak berlaku pada partai-partai di Enrekang.”
Dua poin inilah yang kemudian menjadi tanda tanya besar tentang kausal lahirnya Kotak Kosong di Enrekang. Apakah berdasarkan poin-poin tersebut kemudian memaksakan para tokoh-tokoh Maspul yang lain mengurungkan niatnya untuk berani bertarung dalam pesta demokrasi. Jika memang asumsi-asumsi yang telah dikemukakan benar adanya, secara otomatis Kotak Kosong telah mengancam kemajuan kualitas demokrasi di tanah yang subur dan tanah yang diagung-agungkan itu. Disisi lain, jika fenomena Kotak Kosong bukan bermuasal dari yang diasumsikan tersebut, dan terdapat motif-motif lain yang sah-sah saja dalam demokrasi, berarti Kotak Kosong adalah peluang dan sekaligus tantangan demokrasi kita, yang kemudian sebagai batu sandungan meningkatkan kualitas demokrasi Maspul. Artinya, dengan hanya satu kandidat dapat mengantarkan pada sebuah kepercayaan bahwa; pertama, proses pemilihan umum tidak terlalu membutuhkan dan menghabiskan dana yang besar meskipun nantinya ada gerakan memenangkan Kotak Kosong, salah satunya dari PBB; Kedua, menghindari konflik sosial yang sebelum-sebelumnya pernah terjadi; Ketiga, menjadi bukti bahwa partai-partai dan masyarakat masih mempercayakan Muslimin melanjutkan pemerintahan periode 2018-2023 beradasarkan kualitas kinerjanya selama ini. 



0 komentar:

Post a Comment

 

My Profil

My photo
Batu Bolong, Makassar/Sulsel, Indonesia
Someone on the photo is independent writer in this blog namely Muhammad Jusrianto from Latimojong, Enrekang, South Celebes, Indonesia. Latimojong is one of the deepest areas which has the highest mountain in Celebes island, named as Latimojong Mountain. Although spending time and growing in underdeveloped area, he has a great spirit to attend higher education. He spent four years, from 2010 to 2014, to finish his study International Relations Department of University of Muhammadiyah Malang in Malang, East Java. After completing an undergraduate degree, he decided to closely keep in touch with English for preparing himself to attend master degree abroad, whereas running the responsibilities in The Institution of Tourism and Environmentalist at HMI. Now he is a IELTS tutor in Insancita Bangsa Foundation and a director of Information and Communication in LEPPAMI HMI.

Popular Posts

Musik

Video