Melirik Rasionalisme



Posisi Rasionalisme
Dalam Perdebatan Ilmu Hubungan Internasional[1]
Oleh, M. Jusrianto[2]   
          Proses diskursus antar pemikiran yang dikotomis menjadi kausal pendorong tokoh-tokoh setiap pemikiran di bidang Hubungan Internasional (HI) memperbaharui pemikirannya serta lahirnya pemikiran baru[3]. Adanya pembaharuan pemikiran disebabkan situasi yang selalu dinamis. Setiap pemikiran berusaha menjawab problema-problema sistem internasional dengan model yang berbeda (the disparity of epistemology) dan secara substansi tujuan sama. Sama-sama berbicara keinginan dan kebutuhan dasar umat manusia, yaitu ketertiban dan keadilan. Tulisan ini akan fokus pada posisi rasionalisme dalam perdebatan paradigma mainstream HI yang pertama? dan bagaimana logika rasionalisme dalam menjelaskan sistem internasional?.
Pentingkah Rasionalisme?
            Seringkali kita mendialektikakan konsepsi realisme dan idealisme di forum diskusi Malang School. Pastinya secara hakekat dari kedua konsep tersebut sedikit banyak dipahami para penggiat Malang School. Ditinjau secara historis, secara lahiriah realisme dan idealisme[4] sudah berdebat dan tidak bisa disatukan-“realisme vs idealisme”. Satunya melihat dunia apa adanya atau senyatanya (Das Sein) sedangkan yang satunya yakin bahwa situasi sistem internasional bisa berubah atau bagaimana seharusnya dunia ini (Das Solen).[5] Pemikiran tersebut tidak lepas dari bagaimana kedua paradigma meninterpretasikan hakikat sifat manusia. Realisme menganggap bahwa secara asali manusia itu jahat, egois, buruk dan suka perang, sedangkan idealis-liberal malah sebaliknya – “dari level mikro diangkat ke level makro (individu-negara-sistem internasional). [6]
          Proses dialektis antara realisme versus idealisme yang pemikirannya sangat dikotomis satu sama lain mengharuskan para akademis HI untuk mencari dan menggunakan paradigma sebagai sintesa. Paradigma yang lahir dan berfungsi sebagai titik temu atau jembatan antara dua paradigma yang saling berperang dan dapat menjelaskan apa yang dijelaskan baik realis maupun idealis, ataukah saling melengkapi dengan kedua paradigma yang masuk dalam perdebatan pertama HI. Paradigma yang akan menjadi via media (media penengah) seperti yang diharapkan pada redaksional sebelumnya adalah rasionalisme. Para dosen-dosen HI Universitas Muhammadiyah Malang tidak banyak bahkan sama sekali tidak menjelaskan kepada mahasiswa-mahasiswi apa itu rasionalisme[7] dalam konteks HI.
          Minimnya suntikan-suntikan pemikiran rasionalisme oleh para dosen-dosen menjadi dorongan tersendiri untuk mendialektikakan posisi dan logika pemikiran rasionalisme diantara perang paradigma. Rasionalisme diasumsikan berjasa karena mampu menjadi jembatan antara kedua paradigma yang memang dari sononya bertolak belakang. Jembatan yang mampu menjelaskan baik apa yang dijelaskan realis terkait sistem internasional yang anarki maupun mimpi-mimpi idealis seperti yang dipercayai Kant tentang perpetual peace[8]. Pentingnya lagi, James Fearon dan Alexander Wendt menjelaskan bahwa:
“...Peter Katzenstein, Robert Keohone dan Stephen Krasner...menunjukan bahwa poros utama perdebatan dalam bidang hubungan internasional (HI) di tahun-tahun mendatang kemungkinan besar adalah rasionalisme lawan konstruktivisme”.[9]
Menjelejahi penjelasan James Fearon dan Alexander Wendt tentang perbedaan dan persamaan Rasionalisme Lawan Konstruktivisme memperlihatkan begitu pentingnya mempelajari rasionalisme.[10]
Mempertegas Posisi Rasionalisme
            Realisme memandang antara politik dalam negeri dan internasional adalah jurang yang tak terjembatani. Beda dengan kosmopolitan yang percaya bahwa jurang tersebut bisa dipersempit, bahkan dihilangkan sama sekali, dan bahwa proyek reformasi bukan hanya mungkin dilaksanakan tetapi juga sangat penting dalam konteks anarki. Kewajiban moral terhadap umat manusia di mana saja dengan maksud menentramkan masyarakat internasional menjadi perdebatan inti anatara kedua pemikiran tersebut. Oleh karena itu, Scott Burchill dan Andrea Linklater dalam karyanya menjelaskan bahwa:
“...seperti Wight, Bull, Watson dan Vincent menunjukan ada cara pemikiran lain mengenai hubungan internasional yang saling melengkapi dengan realisme dan idealisme pada beberapa tahap”.[11]
Rasionalisme adalah paradigma HI yang bisa saling melengkapi dengan realisme dan idealisme. Walaupun di lain sisi sama-sama saling mengkritik tapi dalam konteks ini lebih pada bagaimana rasionalisme melengkapi kekurangan-kekurangan kedua paradigma utama HI tersebut.
          Realisme memercayai bahwa sistem internasional yang anarki mengharuskan negara-negara memperkuat keamanan nasional dan menjaga kedaulatan serta kurang bahkan tidak percaya dengan negara lain kecuali beberapa negara tetangga. Realispun menyatakan secara tegas hubungan internasional “bertentangan dengan teori progresivis”. Tidak jauh berbeda dengan apa yang diyakini Martin Wight, “politik dalam negeri merupakan lingkungan kehidupan yang baik, sementara politik internasional adalah lingkungan keamanan dan bertahan hidup”. [12] Jadi logika bagaimana sebuah negara melihat dan bertindak dalam sistem internasional yang coba di bangun Wight memiliki kemiripan dengan logika pemikiran realis.
          Anarki yang sudah terkonstruk dan mendarah daging dalam pemikiran kaum realis, ternyata rasionalisme telah di awali dengan anarki tetapi tidak seperti realisme. Dimana rasionalisme mengakui  bahwa rasa memiliki pada komunitas umat manusia telah meninggalkan tanda peradabannya pada negara dan hubungan internasional. Di sisi lain perhatian rasionalisme sama dengan perhatian kosmopolitan bahwa, “sistem internasional yang keras kepala telah gagal mengakomodasi prinsip-prinsip kebebasan dan kesetaraan. Memang agak mebingungkan posisi rasionalisme di antara perdebatan realis dengan idealis. Namun dipertegas oleh Burchill bersama teman sejawatnya Andrea, bahwa:
“...Doktrin lain rasionalisme terdiri atas kecenderungan berbeda, beberapa condong ke arah realisme sementara yang lain condong ke arah kosmopolitanisme, tetapi tidak pernah merekonsiliasikan dirinya sendiri pada satu sudut pandang. Rasionalisme memiliki objek analisisnya sendiri. Rasionalisme tidak fokus pada sistem negara ataupun komunitas umat manusia, tetapi pada apa yang dianggap sebagai realitas dasar yang diabaikan oleh realisme dan idealisme...”.[13]
Penulis dapat mengasumsikan bahwa yang dimaksud pada kata “realitas dasar”, yaitu negara-negara dalam sistem internasional bukan hanya merealisasikan pluralisme tetapi yang terpenting juga adalah solidaritas. Keberadaan pluralisme dan solidaritas dalam sistem innternasional akan melahirkan ketertiban dan keadilan yang di inginkan.
Wight menegaskan posisi rasionalisme sebagai via media (media penengah) antara realisme dan revolusionisme; istilah revolusionisme adalah ekspresi Wight untuk jalan pemikiran idealis atau kosmopolitan.[14] Posisi yang ditempati oleh rasionalisme sebagai via media memunculkan pertanyaan penting mengenai bagaimana tatanan dan perubahan di konsepkan oleh anggota mazhab rasionalis. Ada dua pokok utama dalam konteks ini, yaitu:[15]
          Pertama, rasionalisem kurang menaruh perhatian pada masalah bagaimana negara-negara berbuat curang, mengatur dan saling mengalahkan satu sama lain. Tetapi rasionalisme lebih menaruh perhatian pada bagaimana negara-negara memperoleh dan menggunakan seni ketelitian dari akomodasi dan tidak kompromi, sesuatu yang mustahil dilakukan oleh tatanan internasional. Kaum realis berfokus pada sifat sistem internasional dan percaya bahwa kaum rasionalis terlalu menganggap penting lembaga (perhimpunan) dalam hubungan internasional. Dengan melihat sebuah kemungkinan adanya kecenderungan umum sistem-sistem negara bisa menjadi lembaga-lembaga negara. Watson menambahkan  bahwa pertanyaan penting yang harus diajukan adalah dari mana komponen etis dalam lembaga internasional berasal. Dengan menambahkan ungkapan yang berbeda, rasionalis secara khusus tertarik untuk menjelaskan teka-teki tatanan internasional.
          Kedua, rasionalisme bersikukuh bahwa tatanan internasional tidak boleh diterima apa adanya karena akan munculnya kekuatan-kekuatan agresif yang membawa sistem internasional lebih mengkhawatirkan. Namun, rasionalisme mengajukan pertanyaan mengenai seberapa jauh sebuah tatanan internasional yang aman bisa di ubah lebih jauh untuk memuaskan tuntutan morolitas dan keadilan. Wight menegaskan bahwa tugas politik yang fundamental sepanjang waktu adalah memberikan ketertiban, atau keamanan, yang dari sana hukum, keadilan, dan kemakmuran bisa berkembang lebih jauh. Penulis sendiri ketika mencoba mengambil kesimpulan dari dua penjelasan diatas bahwa pemikiran rasionalisme lebih dekat pada idealis.
Mimpi-Mimpi Rasionalisme
Setiap pemikiran mempunyai mimpi-mimpi yang akan diperjuangkan untuk diwujudkan dalam bentuk realita. Begitupun dengan rasionalisme melahirkan pemikiran-pemikiran ideal yang lebih kepada melahirkan tatanan dunia yang lebih baik. Hedly Bull dan John Vincent mengungkapkan bahwa, “tatanan internasional bisa eksis meski negara-negara tidak mempunyai budaya politik internasional yang sama; tatanan internasional bisa bertahan hidup dan berfungsi dengan lancar apabila negara-negara dan, yang lebih penting, rakyat memiliki nilai-nilai politik dasar yang sama. Tatanan internasional dalam karya Bull, “The Anarchical Society”  yang menekankan beberapa kesamaan khusus antara masyarakat domestik dan internasional. Bull menekankan, sebelum masyarakat bisa dikatakan ada para anggota harus bekerjasama untuk mendapatkan tiga ‘tujuan utama”: membatasi kekerasan, menghargai kepemilikan dan menegaskan bahwa suatu perjanjian senantiasa terjaga.[16]
Rasionalisme menyatakan bahwa negara-negara dengan budaya dan ideologi yang berbeda bisa ikut bergabung dalam perhimpunan negara karena mereka memiliki tujuan yang sama. Rasionalisme juga menegaskan keyakinannya pada diplomasi sebagai tindakan yang bisa mengubah apa yang berbeda, yang curiga dan yang bertentangan mencapai dasar yang sama. Rasionalisme dengan tegas menyangkal bahwa masyarakat internasional hanya bisa eksis diantara negara-negara yang memiliki ideologi atau falsafah pemerintah yang sama. Rasionalisme memiliki sudut pandang yang sama dengan liberal karena percaya bahwa kita perlu mempertimbangkan struktur dan keyakinan domestik agar memahami sifat hubungan inetrnasional.[17]
Selain itu, negara-negara harus memahami tanggung jawab dalam menjaga masyarakatnya dan merasakan apa yang dirasakan oleh negara lain. Realisme harus dibedakan dari rasionalisme karena menekankan pada bagaimana negara mempelajari kemampuan mengakomodasi kepentingan pihak lain dan menciptakan ketertiban sipil bahkan dalam suasana anarki. Rasionalitas menekankan pentingnya toleransi.


[1] Disampaikan di forum diskusi Malang School pada 3 Maret 2014.
[2] Manusia yang terdampar di dunia pemikiran sosial dan politik dan mencoba menjadi manusia bebas seutuhnya.
[3] Bidang Hubungan Internasional dari masa ke masa pemikiran-pemikiran di dalamnya semakin berkembang dan bertambah.
[4] Progresivis, liberalis, kosmopolitanisme dan revolusionisme adalah baju lain dari idealisme atau bisa digunakan untuk menyebutkan dan menjelaskan penjelasan dari idealisme.
[5] Baca lebih lanjut, Scott Burchill dan Andrea Linklater, 1996, “Teori-Teori Hubungan Internasional”, Bandung:Nusamedia, hal,.92.
[6] Baca lebih lanjut, Shaumil Hadi, 2008, “ Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional”, Yogyakarta: Jalasutra, Hal. 77 – 104. Serta teks-teks lain yang menjelaskan kedua paradigma tersebut.
[7] Rasionalisme secara filosofis adalah keyakinan pada akal sebagai letak sumber pengetahuan. Kebenaran dan kesesatan terletak dalam ide kita, dan bukannya di dalam diri barang sesuatu. Tetapi dalam tulisan ini, bukan itu yang akan dijelaskan tapi bukan berarti mengabaikannya. Lihat, Louis O. Kattsoff, 2004, “Pengantar Filsafat”, Yogyakarta: Tiara Wacan, hal,. 135-137.
[8]Perdamaian abadi perlu diperjuangkan demi terlaksananya tatanan yang damai. Baca, Jill Steans dan Lloyd Pettiford, 2009, ”Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema”, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, hal., 97.
[9] Baca, James Fearon dan Alexander Wendt, “Rasionalisme Lawan Konstruktivisme: Sebuah Pandangan Skeptis”. Dalam,  Walter Carlsnaes dkk, 2013, Handbook Hubungan Internasional, Bandung: Nusamedia, Hal,. 101.
[10] Tulisan ini tidak membahas perdebatan dan persamaan (saling melengkapi) antara rasionalisme dan kontruktivisme tetapi fokus pada penjelasan rasionalisme.
[11] Baca, Scott Burchill dan Andrea Linklater, 1996, “Teori-Teori Hubungan Internasional”, Bandung:Nusamedia, hal,.126.
[12] Baca, M. Wight, “Why There is no Internasional Theory”, dalam H. Butterfield  dan M. Wight, eds., Diplomatic Investigation: Essay in the Theory of Internasional Politics (London:1996), hal.91. dalam Ibid.
[13] Ibid, hal., 127.
[14] Ibid.
[15] Ibid, Hal
[16] Ibid, hal., 132.
[17] Ibid, hal., 133.
[18] Baca, James Fearon dan Alexander Wendt, “Rasionalisme Lawan Konstruktivisme: Sebuah Pandangan Skeptis.Walter”. Dalam, Carlsnaes dkk, 2013, Handbook Hubungan Internasional, Bandung: Nusamedia, Hal,. 101.
[19] Lihat Wendt, 1999: 33-8 untuk diskusi lebih lanjut mengenai tiga cara menafsirkan debat ini. Ibid, hal. 102.
[20] Baca lebih lanjut, Scott Burchill dan Andrea Linklater, 1996, “Teori-Teori Hubungan Internasional”, Bandung:Nusamedia, hal,.126-127.


Referensi
Burchill, Scott & Linklater, Andrea. 1996. Teori-Teori Hubungan Internasional. Bandung:Nusamedia.
Carlsnaes, Walter, dkk. 2013. Handbook Hubungan Internasional. Bandung: Nusamedia.
Hadi, Shaumil. 2008. Third Debate dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional. Yogyakarta: Jalasutra.
Kattsoff, Louis O. 2004. Pengantar Filsafat. Yogyakarta: Tiara Wacana.
Steans, Jill & Pettiford, Lloyd. 2009. Hubungan Internasional: Perspektif dan Tema. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

0 komentar:

Post a Comment

 

My Profil

My photo
Batu Bolong, Makassar/Sulsel, Indonesia
Someone on the photo is independent writer in this blog namely Muhammad Jusrianto from Latimojong, Enrekang, South Celebes, Indonesia. Latimojong is one of the deepest areas which has the highest mountain in Celebes island, named as Latimojong Mountain. Although spending time and growing in underdeveloped area, he has a great spirit to attend higher education. He spent four years, from 2010 to 2014, to finish his study International Relations Department of University of Muhammadiyah Malang in Malang, East Java. After completing an undergraduate degree, he decided to closely keep in touch with English for preparing himself to attend master degree abroad, whereas running the responsibilities in The Institution of Tourism and Environmentalist at HMI. Now he is a IELTS tutor in Insancita Bangsa Foundation and a director of Information and Communication in LEPPAMI HMI.

Popular Posts

Musik

Video