Percakapan Kecil Di Seregan


       Disebuah tempat, yaitu negeri Kyuubi yang dikenal sebagai kota pendidikan dan parawisata, hidup seorang anak rantau yang berasal dari pulau seberang. Dia bernama Hachibi dan biasa dipanggil “Hach atau Chibi”, tetapi dia lebih suka dipanggil Chibi. Alasan dia, “sebutan “Chibi” lebih keren dibandingkan dengan “Hach” dan menurut sepengetahuannya, belum ada satu orang-pun di desanya menggunakan nama panggilan sebutan “Chibi”. Chibi lahir dan mengalami transisi pertumbuhan sampai menjadi sesosok orang dewasa di lembah kaki gunung Sarengan. Gunung Sarengan dikenal sebagai gunung tertinggi di Chidori, tepatnya di desa Sarengan, negeri Chidori .
Setelah selesai di sekolah tingkatan Jenin (selevel SMA), Chibi melanjutkan pendidikannya di Universitas Aseratsu dan mengambil jurusan “Ilmu Antar Negeri”. Dua setengah tahun lamanya, jasad dan jiwanya menjalani kehidupan di negeri Kyuubi sebagai anak rantau. Hijrah dilakukannya untuk menuntut ilmu dan memperbanyak pengalaman demi menyongsong masa depan yang lebih baik.
Perenungan seringkali dilakukannya terkait berbagai macam persoalan sendi-sendi kehidupan. Chibi meyakini bahwa, batas perenungannya sesuai dengan kapabilitas pengetahuannya, maksudnya renungan yang seringkali dilakukannya sebagian besar dipengaruhi oleh ilmu yang digelegutinya. Selama diperantauan, pemikiran “Nox’ sangat dipengaruhi oleh dua dunia. Dunia kampus dan dunia organisasi ektra di salah satu organisasi Filsafat.
Pada suatu sore dia duduk di Sofa ruangan tamu kontrakannya sambil membaca sebuah Novel Filsafat dengan judul “Dunia Sophie” karya Jostein Gaarder. Tetapi pada waktu itu sebagian besar waktunya digunakan untuk merenung. Banyak hal yang dia renungi, terkait dengan berbagai macam sendi-sendi kehidupan. Diawal-awal renungannya, di dalam alam pikirannya telah terjadi diskursus. Diskursus kuat terjadi karena dia tidak berpusat pada satu renungan.
“Persoalan asmara, keuangan, keluarga, organisasi, akademik, persoalan bangsa – negara dan demokrasi di desanya.” Beberapa persoalan diatas berada dalam alam pikirannya. Chibi menyadari bahwa pikiran manusia mempunyai batas kemampuan. Oleh karena itu, dia memusatkan renungannya pada salah satu persoalan sendi kehidupan yang sebelumnya sudah disinggung diatas. Demokrasi di desanya-lah yang akhirnya menjadi satu-satunya bahan perbincangan di alam pikirannya.
Chibi percaya akan kekuatan akal yang diadakan oleh Tuhan kepada setiap manusia. Kepercayaanya akan kekuatan akal “the power of thinking” memberikan dia keyakinan kepada akalnya sendiri untuk merenungi kondisi politik di desanya. “Menggunakan akal sendiri berarti masuk ke dalam diri sendiri dan memampaatkan yang ada disana,” ungkap Alberto Nox di dalam Novel “Dunia Sophie”.
Di sore itu, renungannya diiringi oleh hujan deras yang tidak kenal ampun kepada manusia yang melakukan aktivitas di alam bebas. Hujan deras yang tidak kunjung berakhir sampai jam lima dilengkapi dengan suara gemurung yang sangat keras sekali dari langit. Sempat terlintas dalam pikirannya pada waktu sementara merenung, apa penyebab dari suara gemurung itu?. Sepengetahuan dia, telah terjadi pertarungan antara dewa Zeus dan dewa Thyr...hehehe...“nggak masuk akal”. Begitulah kepercayaan pada masa Yunani yang kemudian masih dijadikan kepercayaaan oleh sekolompok masyarakat tradisonal yang tersebar di penjuru dunia di era moderen saat ini.
Renungannya di sore itu yang berfokus pada sistem “Demokrasi Di Desanya”, pastinya penuh dengan kausalitas.
Pada waktu masa-masa duduk di Junin (selevel SD) sampai Jenin bahkan sampai saat ini, Chibi mengkhawatirkan Ayahanda-nya yang sedang mengalami pergolakan politik dengan salah satu keluarga besar di desanya. Kekhawatirannya semakin meningkat sesuai dengan jenjang pendidikannya. Ketika salah satu anggota keluarga dihadapkan pada sesuatu yang konfrontatif dengan orang lain atau keluarga lain dalam salah satu wilyaha teritorial atau di luar, otomatis akan berefek pada anggota keluarga lain. Bahkan efeknya akan menyebar ke keluarga yang hubungan darahnya berdekatan. Konsep simbolis mutualisme akan berperan besar dalam permasalahan seperti itu. Kondisi seperti itulah yang sudah menjadi tradisi di salah satu desa paling pedalaman di negeri Chidori.
Ayah Chibi bukanlah aparatur pemerintahan desa. Ayahnya hanyalah orang biasa yang berprofesi sebagai kepala sekolah di sekolah Junin di salah satu dusun di desanya. Sementara jadi pendidik, ayahnya juga bertani Kopi, Cengkeh dan tanaman jangka pendek lainnya. Ketika pulang mengajar dan ada waktu libur, ayahnya menghabiskan waktunya di kebun. Sampai saat ini, dua pekerjaan di atas masih di tekuni Ayahnya demi keluarga dan masa depan pendidikan anak-anak – nya. Nama Ayahnya, “Sarenggan”.
 Ayahnya menjadi pimpinan di sekolah “Junin Angin-Angin” yang terletak di atas pegunungan dan selalu diselimuti kabut tebal. Ayahnya sangat tegas dan mengajarkan kedisiplinan kepada anak-anaknya. Sebagai seorang pemimpin di salah satu sekolah Junin, tugas dan tanggungjawabnya bukan hanya kepada anak kandungnya, melainkan juga kepada anak didiknya di sekolah tempat dia mengajar. Demi kebaikan dan kesuksesan anak-anaknya, baik anak kandung maupun anak didiknya di sekolah, dia menerapkan pola mengajar yang tradisional. Chibi sebagai anaknya mengikuti dan merasakan langsung, cara yang digunakan ayahnya dalam mendidik yang begitu tegas dan disiplin.
Pernah suatu ketika Chibi berbincang dengan salah satu mantan murid Ayahnya, namanya Kurama. “Waktu bapak kamu mengajar kami, dia sangat keras,” ungkap Kurama. Chibi, tertawa keras...Ha....Ha...Haaa, kok bisa?, Chibi bertanya kepada Kurama.
Kurama melanjutkan cerita pengalamannya waktu masih duduk di sekolah Junin, “Bayangkan saja Chibi, ketika bapak kamu mengajar pasti dia membawa Kayu dengan kekuatan Chakra yang tinggi”. Chibi sudah mengetahui tujuan Ayah-nya membawa Kayu kecil ke kelas. Tidak lain untuk memberikan pelajaran kepada murid-murid nakal yang bertindak seenaknya atau menyalahi aturan dan anak-anak yang malas belajar. “Pernah suatu ketika bapak kamu bertanya ke saya, tetapi saya sudah lupa pertanyaannya apa. Kemudian saya tidak bisa menjawab dan efeknya sungguh luar biasa, saya terdiam ditempat sambil berkeringat. Beberapa saat setelah ditanya, saya langsung di suruh maju kedepan kelas – “ saya angkat kaki dan kedua tangan menyilang memegang kedua telinga”. Kalau bukan hukuman seperti itu, hukumannya pasti menggunakan Kayu Chakra dan kadangkala menggunakan kaki atau tangannya”. Itulah cerita Kurama seputar pola pengajaran Ayah Chibi.
 Kurama sempat mengatakan dalam perbincangannya bersama Chibi bahwa, “dengan pola seperti itu membuat saya sadar dan harus belajar keras pada waktu itu”. Chibi lebih merasakan pola yang digunakan oleh Ayah-nya dibandingkan dengan anak didiknya di sekolah. Pola seperti itu yang diterapkan oleh Ayah-nya di lingkungan keluarga membuat Chibi dan saudara kandungnya seringkali meneteskan air mata. Chibi harus menyadari dengan pendidikannya yang semakin tinggi bahwa, “pola tradisional yang diterapkan Ayah-nya dahulu kala tidak-lah baik. Dan disisi lain dia sangat bersyukur dengan pola seperti itu karena sungguh sangat mengesankan dan sampai saat ini masih tersimpan dalam memorinya.
Ketegasan Ayah Chibi, bukan hanya sampai di skala itu, tetapi juga kepada pemerintah setempat.  Inti renungan Nox berada pada sistem demokrasi yang tidak berjalan.
Waktu sudah menunjukkan Pukul. 17.05, hujan deras sudah redah. Hujan rintik-rintik masih berkeliaran di luar sana. Biasanya burung-burung lalu lalang disekitar kontrakan Nox dengan kicauan-kicauan merdu yang indah kedengaran. Tetapi disore itu, tidak ada sama sekali kicauan-kicauan seperti hari-hari sebelumnya. Seperti biasa, jikalau cuaca sedang mendung dan hujan, burung-burung ditimpa kemalasan untuk bereaksi dan berekspresi di alam bebas. Chibi melirik keluar, embun yang mengiringi hujan rintik-rintik berkelap-kelip di rerumputan halaman rumah seperti butir-butir kristal. Chibi sangat terpukau oleh keindahan dan keajaiban dunia yang luar biasa.
Chibi semakin asyik merenungi kejadian yang menimpa keluarganya dan desa tempat dia tumbuh. Perenungan dilanjutkan dengan konsentrasi tinggi yang berfokus pada satu permasalahan. Urusan cinta dan tugas, dipikirkan di lain waktu.
Tahun 2003 silam, Ayah Chibi dihadapkan pada sebuah permasalahan. Hachibi masih duduk dibangku Junin kelas Lima pada waktu itu. Kata orang-orang disekitarnya dan seringkali dia mendengarnya saat itu bahwa, “Chibi sangat ganteng dan kulitnya hitam manis makanya seringkali dia dipanggil si imut dan si manis.” Permasalahannya, kelebihan itu semakin terkikis seiring dengan usianya yang semakin bertambah. Usianya sekarang sudah 20 tahun”, He...He...Heee...Lumayan tua yach.
 Adanya program pemerintah, yaitu program Beras Raskin (Rakyat Miskin) di masa-masa itu yang menjadi sumber masalah yang menimpa Ayahnya. Program Beras Raskin di desanya langsung dikelola oleh pemerintah desa. Ketidakmerataan dan ketidakadilan dalam pelaksanaan pembagian “Beras Raskin” yang dilakukan oleh pemerintah desa menjadi inti dari permasalahan. Namanya saja “Beras Raskin”, berarti sudah jelas dan konkrit hanya ditujukan kepada orang miskin atau rakyat yang kurang mampu.
Menurut pengamatan Ayahnya dan beberapa orang yang beroposisi dengan pemerintahan desa melihat bahwa, “pemerintah desa sedang melakukan penyelewengan.” Pernah suatu ketika Chibi dan Ayahnya berbincang-bincang. Ayahnya mengatakan, “Masih ada rakyat miskin yang tidak mendapatkannya, padahal mereka sangat membutuhkannya pada waktu itu. Malahan, sebagian di berikan ke orang yang hubungan darahnya berdekatan dengan “pengelola” – nepotisme, tegas Ayahnya.” Chibi bertanya, kok bisa?. Jawab Ayahnya, “semua itu bisa saja terjadi didesa kita ini, walaupun kita sudah masuk di jaman demokratisasi, nak.
Refleksi dari kejadian tersebut, telah memotivasi Ayahnya untuk mencari tahu penyebab kejadian itu sehingga bisa terjadi. “Beberapa waktu kemudian setelah pembagian, Ayahnya bertanya kepada panitia pembagian.
“Saya bertanya langsung kepada Ambe’ Korichi (istilah ambe’ dalam bahasa Indonesia adalah orang tua atau orang yang dianggap lebih tua dari kita – “menghormati”), tegas Ayahnya. “Emangnya, ambe’ Korichi yang langsung jadi pengelolah pada waktu itu dan jabatannya apa”, tanya Chibi. Ayah Chibi menjawab, “Ambe’ Korichi pada waktu itu adalah salah satu aparatur pemerintahan desa dan dia adalah kordinator pengelola. Ayah lama sekali berbincang dengan ambe’ Korichi. Inti dari perbincangan itu adalah mengajukan pertanyaan, kenapa dalam pembagian Beras Raskin tidak sesui dengan tujuannya?.” Ternyata pemerintahan desa pada waktu itu salah menanggapi pertanyaan yang diajukan Ayah-nya. Setelah pertemuan itu, terjadi konflik antara Ayahnya dengan kepala desa dan beberapa kroni-kroninya.
Selain Chibi mengamati sendiri yang sedang dialami Ayahanda-nya, kejadian itu sudah menjadi cerita sejarah dalam keluarganya dan di kampong-nya. Perang dingin antara Ayahnya dan pemerintahan desa dan kroni-kroninya mulai terjadi. Intimidasi dan ketidakamanan kedua belah pihak berlangsung sengit, terutama Ayahnya. Mau tidak mau, keluarga besar Ayah Chibi juga terlibat dalam pergolakan itu. Keseimbangan kekuatan “balancing of power” telah tercipta antara kepada desa dan kroni-kroninya dengan Ayahnya dan keluarga besanya.
            Di desa Sarengan, seringkali terjadi perkelahian baik antara anak-anak maupun antara orang dewasa beberapa tahun silam, tetapi sekarang sudah terminimalisir. Minimnya konflik, kemungkinan besar disebabkan karena masyarakatnya sudah berfikir lebih rasional. Selain itu masyarakatnya juga kebanyakan disibukkan dengan sesuatu yang materialistik. Materialistik adalah kebutuhan utama sebagian masyarakat planet di jaman ini. He...He...He, yang penting jangan sampai material dijadikan sebagai Tuhan Baru seperti  social network (Facebook, tweeter dan lain-lain). Nurudin pernah mengatakan mengatakan bahwa jejaring sosial sudah menjadi tuhan baru bagi sebagian umat manusia, terutama anak muda dewasa ini.
            Konflik terbuka atau konflik fisik tidak sampai terjadi diantara kedua belah pihak. Semua itu terminimalisir karena peran seorang wanita,  yaitu Ibu Chibi, namanya Kisame. Ibu Chibi adalah seorang wanita yang sangat khawatir, terutama kepada suaminya dan anak-anaknya. Pikirannya tidak akan tenang ketika orang-orang terdekatnya ditimpa musibah atau dihadapkan pada sebuah permasalahan, apalagi suaminya. Peran Ibu Chibi sangat besar dalam kondisi seperti itu, karena walaupun lawannya sudah mengajak dia bertarung dan sebagainya, tetapi Ibu Chibi selalu menghalanginya. Jadi, peran seorang wanita atau Ibu sangat diperlukan oleh seorang suami atau laki-laki dan dalam bermasyarakat untuk meminimalisir konflik. Tugas seorang wanita ketika sudah menjadi istri bukan hanya di dapur, sumur dan kasur”, tetapi melampaui dari itu yang sesuai dengan kapabilitasnya. Kapabilitas tergantung dari doa, ikhtiar dan kepercayaan.
            Lawan dari Ayah Chibi berkuasa selama dua periode yang dimulai dari tahun 1999-2009. Pemerintahan desa selama dua periode itu tidak terlalu membawa perubahan yang signifikan bagi infrastruktur dan kemajuan masyarakat. Sebagian besar masyarakatnya masih melek huruf, anak-anak didesa tidak sedikit yang tidak melanjutkan pendidikannya ke jenjang Sunin (sederajat SMP). “Tiga tahun terakhir ini baru ada sekolah Sunin di desa Sarengan ”. Hanya satu dua putra dan putri desa yang melanjutkan kuliahnya di Ibu negeri Chidori. Dan yang paling parah lagi di desanya adalah jalanan yang rusak parah. Oleh karena itu, untuk sampai di desa Sarengan, harus melewati jalanan yang mendaki, berlubang dan berlumpur. Bahkan ketika  musim hujan datang, tidak sedikit mobil yang bermalam dalam perjalanan.
            Pengamatan Chibi dan seringkali disampaikan oleh Ayah-nya bahwa “pemerintah desa kurang termotivasi untuk membangun Kompong ini dengan baik.” Seringkali Chibi mendengar kalimat-kalimat bahwa, “ketika masyarakat memberikan saran, itu dianggap oleh pemerintah adalah orang yang melawan.” Selain itu, kepala desa pernah berkata, “pemerintah desa lebih tahu dibandingkan kalian (masyarakat), jadi urusan pemerintah biar pemerintah yang selesaikan dan kerjakan kesibukan kalian masing-masing.” Pernah suatu ketika, Ayah Chibi berkata, “pemerintah pada waktu itu diktator.” Memang, pembungkaman kepada masyarakat pada waktu itu dilakukan oleh pemerintah.
            Pernah juga suatu ketika terdapat seorang mahasiswa yang memberikan saran kepada pemerintah, namanya Sinoki. Tetapi respon pemerintah pada waktu itu tidak baik, “kamu (Sinoki) adalah anak yang baru lahir kemarin yang tidak pantas mengajari kami yang sudah lama tua.”
            Sungguh tragis kejadian yang menimpa desa Sarengan. Jam sudah menunjukkan pukul. 17.45, raja malam sudah mulai menampakkan dirinya. Kutub Barat tidak memperlihatkan keindahan pada saat Matahari tenggelam seperti hari-hari sebelumnya. Ayam-ayam, semuanya kembali kesarangnya untuk istrahat dan menikmati indahnya malam. Gerimis di alam bebas tidak kunjung berakhir dan masih menampakkan dirinya diluar sana. Masjid-masjid mengumandangkan merdunya azan Magrib. Chibi masih terhanyut dalam renungan. Chibi berfikir bahwa para generasi mendatang-lah yang akan membangun desanya, termasuk dia. Dia harus sadar bahwa dengan pendidikan yang didapatnya selama ini akan menjadi salah satu penentu besar dalam melakukan pembangunan dan perubahan, terutama di desanya. Dia yakin suatu kelak kebebasan politik di desanya dapat terealisasi dengan baik. Oleh karena itu, dia harus belajar keras di negeri orang lain demi masa depan yang gemilang.
            Lima menit kemudian dari pukul. 17.45, Hachibi terbangun dari renungannya dan berdiam sejenak untuk menetralisir pikirannya. Setelah itu, dia mengambil air wudhu untuk shalat Magrib. Usia sudah renungan yang dilakukan oleh Juranox.

Juice To Alah (The FB name) dan @Juranox (Twitter)

           


0 komentar:

Post a Comment

 

My Profil

My photo
Batu Bolong, Makassar/Sulsel, Indonesia
Someone on the photo is independent writer in this blog namely Muhammad Jusrianto from Latimojong, Enrekang, South Celebes, Indonesia. Latimojong is one of the deepest areas which has the highest mountain in Celebes island, named as Latimojong Mountain. Although spending time and growing in underdeveloped area, he has a great spirit to attend higher education. He spent four years, from 2010 to 2014, to finish his study International Relations Department of University of Muhammadiyah Malang in Malang, East Java. After completing an undergraduate degree, he decided to closely keep in touch with English for preparing himself to attend master degree abroad, whereas running the responsibilities in The Institution of Tourism and Environmentalist at HMI. Now he is a IELTS tutor in Insancita Bangsa Foundation and a director of Information and Communication in LEPPAMI HMI.

Popular Posts

Musik

Video