Organisasi Internasional “LBB – PBB” Dalam Persfektif Realisme


      Realisme menjadi paradigma mainstrem yang sangat berpengaruh dalam sistem Internasional dan pemikiran yang ditawarkan – nya telah dipakai oleh penguasa negara dalam mengelolah negaranya. Hal tersebut membuktikan bahwa realisme sampai kapanpun akan tetap eksis, yang dimana telah mewacanakan konsep kepentingan yang berkaitan dengan kekuasaan.’ Dominasi pemikiran realisme terhadap pemikiran lain dalam konteks ‘survival of state’ telah terbukti dari melihat tindakan negara dalam konstelasi sistem politik Internasional. Keyakinan bahwa negara yang paling kuat akan selalu berkuasa dan mudah untuk mencapai kepentingannya, semisal Amerika Serikat dan cina di jaman kontemporer. Pemikiran realisme pada intinya telah menawarkan, bagaimana meminimalisir perang dan menciptakan perang ?, keyakinan realisme terhadap negara sebagai aktor utama ‘state sentric’, dalam politik domestik maupun pada level sistem Internasional.
 (Balance of powernational interest, kekuatan dan kekuasaan, struggle of power or pursuit of power, kadaulatan negara,Keadilan dan kenyataan dunia) semua konsep tersebut adalah konsep yang ditawarkan oleh realisme. Keagungan para tokoh realisme terhadap salah satu konsep – nya “balance of power” dalam meminimalisir perang dan menciptakan perdamaian dalam sistem Internasional. Realisme telah percaya dengan kenyataan sistem internasional dan tidak bisa dielakkan sebagaimana ditekankan oleh Mc Clelland dari pemikiran Morgenthau, bahwa hakikat dari realisme adalah untuk menerima apa yang tidak dapat dicegah atau diubah dan menemukan jalan untuk hidup dengan kenyataan.[1] Anarchy akan selalu menemani sistem internasional dalam perjalanan perubahan tatanan dunia.
Liberal –Idealisme “LBB - PBB
Perang dikatakan oleh tokoh liberal adalah kanker dalam politik[2] dan harus dicegah untuk menciptakan keinginan dasar masusia dengan terciptanya perdamaian abadi (perpetual peace) ‘konsep kant’. Sejarah kekejam perang memberikan pengaruh dan pencerahan bagi kaum liberal  untuk merefleksi diri demi mencari solusi dari masalah perang dan perdamaian dunia dapat tercipta  dan dengan hal tersebut rasa aman bagi negara akan tercipta dalam sistem Internasional. Rasa keoptimisan – pun telah melekat dalam diri kaum liberal untuk membuat ketaraturan atau aturan di dalam sistem Internasional dengan instrumen Organisasi yang lebih besar dari kekuatan dan kekuasaan negara – bangsa. Liga Bangsa-Bangsa telah lahir sebagai hasil dari manefestasi yang bersumber dari asumsi bahwa perdamaian akan dapat dicapai melalui serangkaian konsensus yang rasional antaranegara yang berperang, melalui pengendalian suatu wadah organisasi dan opini publik yang konstruktif dapat menghilangkan diplomasi rahasia dalam perundingan antara negara-negara dan malahan akan dapat membuka diplomasi pada penilaian publik secara luas guna menjamin perjanjia itu akan masuk akal dan terakhir bahwa penyebarluasan ide-ide demokratis meripakan salah satu upaya untuk menjaga perdamaian tersebut. kemudian ditambah oleh keyakinan Wodroow Wilson pada terpenuhinya kebutuhan semua pihak ketika dapat membentuk organisasi internasional dengan dasar bahwa manusia adalah rasional.[3]
Alasan-alasan diatas – lah sehingga lahir LBB sebagai organisasi internasiobal pertama didunia. E.H.Carr meyakini bahwa terbentuknya LBB tidak lain dari sebuah ekspresi dari “negara pemenang perang” dengan kepentingan pribadi demi mempertahankan ‘Status Quo. Kenyataannya tatanan paska – perang menunjukkan adanya kepentingan bagi negara-negara pemenang perang dan oleh karenanya tidak mungkin menerima dukungan negara-negara seperti Jerman, yang jelas merasa dirugikan oleh Perjanjian Versailles tahun 1918.[4] dan Carr juga beranggapan bahwa dalam rasionalisasi kebutuhan tersebut sebenarnya tersirat suatu kepentingan tertentu.[5] Carr yakin bahwa para penggagas perjanjian damai Versailles telah menempatkan dunia pada jalan menuju konflik selanjutnya.[6]
Para tokoh liberalisme telah menyimpan harapan yang seharusnya bagi dunia (bukan kenyataan)[7] kepada LBB, namun harapan tetap harapan (Liberal- Utopia) yang tidak pernah tercapai dalam kenyataan dunia. Prediksi Carr telah terbukti dengan kegagalan kaum liberlisme dalam melihat dan menilai sistem internasional, yang dibuktikan dengan kegagalan LBB sebagai kekuatan besar dalam mengatur tindakan negara-negara revisioner yang kemudian menjadi negara agresor. Kecaman – pun menyerang kaum liberal dari realisme kegagalannya dan realisme meyakini organisasi seperti LBB tidak akan mampu mewujudkan impian kaum liberal – idealis. Walaupun LBB telah menjatuhkan sanksinya kepada negara agresor tersebut, namun gagal menaklukan sang penakluk, diantarannya Agresi jepang terhadap cina dalam krisis mancuria 1931, Italia menyerang Ethopia dan puncaknya tindakan Jerman “Hitler” ingin mengusai dunia, hal tersebut melahirkan perang dunia II. Tentunya yang patut disalahkan adalah kaum liberal –idealis dan harapan-harapan liberal-idealis membuat realisme (Carr) menjuluki-nya paradigma Utopia.
Realisme melihat negara pada level Internasional, dimana negara satu bertemu dengan negara lainnya, tidak terdapat otoritas tertentu yang bisa menangani prinsif ketidakamana pada sistem Internasional. Artinya, realitas internasional akan selalu ditandai dengan ketiadaan aturan yang dapat memerintah negara-negara atau yang disebut sifat “anarki”. Negra-negara berdaulat pada dasarnya tidaklah tunduk pada suatu kekuatan yang lebih besar darinya atau dengan kata lain, negara berdaulat tidak akan pernah menyerahkan kemerdekaannya demi terjaminnya keamanan global. Hal tersebut meyakinkan realisme akan tidak pentingnya Oragansiasi Internasional yang mempunya otoritas tertinggi di atas negara – bangsa.[8]
PBB - Realisme
PBB menjadi penerus LBB sebagai instrumen impian kaum liberal dalam mewujudkan perdamaian, yang mana telah dibentuk pasca-perang dunia II. Sejarah lahirnya PBB hampir sama dengan LBB dalam konteks mempertahankan ‘Stasu Qou’  lebih tepatnya politik pembagian kekuasaan, dimana negara yang menang perang memiliki hak veto dan tentunya itu membuktikan diskriminasi terhadap negara-negara yang bergabung dalam PBB, khsusnya negara-negara yang kalah perang, misal Jerman dan Jepang. Keyakinan realisme terhadap ‘balance of power’ bertambah ketika perang dingin berkecamuk, dimana dunia dibagi menjadi dua kekuatan besar, yaitu blok barat dan timur “As vs Uni Soviet’ dan selama perang dingin tidak ada perang besar seperti tahun 1945 kebawah dan pasca perang dingin. PBB selama perang dingin tidak berbuat banyak terhadap negara-negara yang berperang dan perang tidak langsung antara AS dengan Uni Soviet dan kejadian antara irak vs iran dan kejadian di korea utara. Balance of power telah meminimalisir terhadapa kepentingan-kepentingan nasional tidak dapat dihindari, dimana konsep tersebut membuat negara akan selalu meningkatkan keuatanya ketika melihat negara lain meningkatkan kekuatanya “Security dilemma” atau pertahanan terbaik terhadap konflik Internasional adalah mencegah satu negara memiliki kekuatan yang lebih besar.
 
Realisme dikenal telah menekankan negara sebagai aktor utama dalam politik Internasional, namun pada tahun 1979, Margenthau merasakan bahwa kekuatan globalisasi akan mengubah negara-bangsa menjadi tak berlaku lagi dan segera akan menjadi usang. Dimana hal tersebut disebabkan oleh dampak nuklir, bersamaan dengan teknologi transportasi dan komunitas modern, yang melebihi kemampuan negara-bangsa mana pun untuk menegndalikan dan mengubahnya menjadi tidak berebahaya  maupun bermamfaat, membutuhkan sebuah prinsip organisasi politik yang melebihi negara bangsa.[9]Realisme yang pada dasarnya meyakini negara sebagai aktor utama dalam politik internasional telah dibantahkan sendiri oleh statement salah satu tokoh besar realisme dan mungkin ini adalah disebut refleksi kenyataan dalam kondisi sistem internasional, namun perlu diketahui bahwa Margenthau maupun Carr tidak terikat dengan negara-bangsa seperti para pendahulunya.   

Referensi:

[1] Shammil Hadi, 2008, Third Debate Dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional, Yogyakarta, Jalasutra,hal174
[2] Lihat, Scott Burschill dan Andrew Linklater, Teori-Teori Hubungan Internasional, New york, St. Martin’s Press, Hal. 42. Telah diterjemahkan oleh M. Sobirin, Bandung Nusa Media.
[3] Lihat, Shaummil Hadi, Op.Cit,. Hal. 57-59 dan 97
[4] Scott Burschill dan Andrew Linklater, Op.Cit,. Hal. 93
[5] Shaummil Hadi, Op.Cit,. Hal. 97
[6] Ibid,. Hal. 58
[7] Realisme menekankan kondisi sebenarnya dalam sistem Internasional.
[8] Op. Cit, Hal. 167-168
[9] Lihat, Lihat, Scott Burschill dan Andrew Linklater, Teori-Teori Hubungan Internasional, New york, St. Martin’s Press, Hal. 104. Telah diterjemahkan oleh M. Sobirin, Bandung Nusa Media.


0 komentar:

Post a Comment

 

My Profil

My photo
Batu Bolong, Makassar/Sulsel, Indonesia
Someone on the photo is independent writer in this blog namely Muhammad Jusrianto from Latimojong, Enrekang, South Celebes, Indonesia. Latimojong is one of the deepest areas which has the highest mountain in Celebes island, named as Latimojong Mountain. Although spending time and growing in underdeveloped area, he has a great spirit to attend higher education. He spent four years, from 2010 to 2014, to finish his study International Relations Department of University of Muhammadiyah Malang in Malang, East Java. After completing an undergraduate degree, he decided to closely keep in touch with English for preparing himself to attend master degree abroad, whereas running the responsibilities in The Institution of Tourism and Environmentalist at HMI. Now he is a IELTS tutor in Insancita Bangsa Foundation and a director of Information and Communication in LEPPAMI HMI.

Popular Posts

Musik

Video