Hukum Diplomatik:
“Kecelakaan Diplomat Asal Ingris”[1]
Oleh: [2]

Abstrak
            Diplomasi sebagai salah satu instrument untuk berinteraksi dengan negara sahabat dan merealisasikan kepentingan nasional. Diplomasi dapat berjalan efektif ketika menggunakan diplomat yang Profesional, seperti bismark dari jerman, Benjamin Frankalin, arthur dan Thompson dari USA dan sebagainya. Selain diplomat profosional, maka dibutuhkan hak-hak istimewa dan kekebalan para diplomat demi kelancaran dalam menjalankan tugasnya dinegara penerima. Tulisan sederhana ini dan dilanjutkan dalam bentuk diskusi akan membawa kita, bagaimana memahami keistimewaan dan kekebalan-kekebalan para perwakilan negara. Dan akan mengkalaborasikan antara ketetapan hukum diplomatik dengan kasus kecelakaan mobil yang pernah dialami diplomat asal Ingris.
Kata Kunci
Hukum diplomtik, diplomat dan state.
Pembahasan
Ada sebuah adiguim mengatakan “apabila diplomasi adalah otak kekuatan nasional maka moral nasional adalah jiwanya”.[3] Berbagai aspek dalam menumbuhkan kekuatan nasional, salah satunya membuka hubungan diplomatik dengan negara lain untuk mencapai kepentingan nasional. Menoleh pada sejarah, bahwa sebelum-sebelumnya hubungan diplomatik sudah lama berlangsung “Zaman Kuno”, namun signifikansi hukum yang mengatur hubungan tersebut belum jelas. Ketika wilayah belum merujuk pada konsep negara dan paska menjelang beberapa tahun perjanjian Westphalia, hubungan diplomatik hanya berlandaskan Hukum kebiasaan.
Perjalanan dalam menyempurnakan Hukum Diplomatik dimulai dari tahun 1815 yang deikenal dengan konvensi Wina[4], kemudian dilanjutkan tahun 1818 oleh protokol “Aix-Lachapelle”[5]. Kemudian atas prakarsa Perserikatan Bangsa-Bangsa diadakan konferensi mengenai hubungan diplomatik di wina, dari tanggal 2 maret sampai 14 april 1961. Konferensi tersebut membahas rancangan pasal-pasal yang telah dipersiapkan oleh komisi Hukum Internasional PBB dan menerima baik suatu Konvensi mengenai hubungan diplomatik, yang terdiri dari 53 pasal yang mengatur hubungan diplomatik secara menyeluruh baik mengenai kekebalan maupun keistimewaan diplomatik.[6] Hasil Konvensi Wina yang mengatur tentang ketentuan-ketentuan hak-hak Istimewa dan kekebalan diplomatik terdapat dalam pasal 22 sampai 31, dan telah diklasifikasin menjadi tiga bagian:[7]
1.      Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa  dan kekebalan gedung-gedung perwakilan beserta arsip-arsip, terdapat pada pasal 22, 24 dan 30.
2.      Ketentuan-ketentuan hak-hak istimewa  dan kekebalan mengenai pekerjaan atau pelaksanaan tugas wakil diplomatik, terdapat dalam pasal 25,26 dan 27.
3.      Ketentuan-ketentuan hak istimewa  dan kekebalan mengenai pribadi wakil diplomatik, terdapat pada pasal 29 dan 31.

Kasus:[8]
Pada tanggal 19 Oktober 1984 sekitar jam 24.00 WIB di jalan Diponegoro pas perempatan jalan telah terjadi kecelakaan lalu lintas antara sedan ford No.Pol CD-15-12 dikemudikan oleh Charles R Miller, dengan Jeep Toyota Hartop No.Pol B-1991-PP dikemudikan oleh R. Suhadi, kedua pengemudi yang bertabrakan adalah anggota ABRI, maka berkas perkaranya diserahkan ke Detasemen Polri Metro Jaya.
Charles R Miller adalah Diplomat asal Ingris untuk Indonesia. Di dalam hukum Indonesia sendiri mutlak mengatur bahwa subjek dari sebuh kasus dianjurkan memberikan saksi, namun permasalahnya jalur-jalur yang ditempuh diplomat sudah diterminankan hasil dari Konvensi wina. Dimana diplomat kebal dari alat-alat negara, walaupun melakukan tindakan kriminal, sebagaimana dijelaskan dalam pasal 31 ayat 1... “A Diplomatik agent  shall enjoy immunity from criminal jurisdiction of the receiving State”. Alat-alat negara dari sesuatu negara tidak boleh menangkap, menuntut ataupun mengadili seorang wakil diplomatik asing didalam sesuatu perkara asing.[9]
      Kemudian dikuatkan pasal 31 ayat 2 menyatakan bahwa seorang pejabat diplomatik tidak berkewajiban menjadi saksi untuk memberikan bukti. Jadi sudah diatur bahwa tidak ada tuntutan bagi diplomat untuk wajib memberikan saksi ataupun bukti dipengadilan ketika dipanggil. Pengadilan  Negeri di Jakarta Pusat tealh melakukan pemanggilan kepada kedua belah pihak untuk memberikan saksi, namun diketahi Charles adalah seorang berstatus diplomat dan diplomat sudah diatur dalam konvensi Wina yang berkaitan dengan Haknya sebagai perwakilan negara pengirim. Kekompleksan kasus tersebut dapat diselesaikan dengan adanya penegasan dari pihak negara pengirm untuk memberikan instruksi kepada Millier untuk memberikan saksi dan bukti kejadian. Selain itu juga dapat diselesaikan dengan menggunkan pasal 32 Konvensi Wina yang menjelaskan bahwa kekebalan pejabat diplomatik dapat ditanggalkan oleh negara pengirim dan pelepasan itu haruslah dinyatakan dengan tegas.
            Negara Ingris sebagai negara pengirim telah merespon dengan baik kasus tersebut, dimana Kedutaan besar Inggris di Jakarta melalui Duta besarnya telah mengirim surat yang menerangkan bahwa:“Berdasarkan ketentuan yang tertera dalam pasal 32 konvensi Wina 1961 Pemerintah Inggris melalui Kedutaan Besar Inggris menanggalkan kekebalan Diplomatik Letkol. Charles R Miller, Atase Militer Inggris untuk maksud dan keperluan memberikan kesaksian”. Dimana langsung diserahkan kepada Deplu Republik Indonesia yang menegaskan penaggalan kekebalan diplomatik Charles R Milller pada 21 November 1984. Demikianlah ternyata di dalam praktek hubungan diplomatik Pemerintah Negara Pengirim (Inggris) telah bersedia menanggalkan kekebalan pejabat diplomatiknya, demi menjaga hubungan baik antar kedua belah pihak.



[1] Kecelakaan yang dialami Oleh Diplomat Ingris.
[2]  M.Jusrianto
[3] Lihat, Hans J. Margentahau, 2010, Politik Antara Bangsa, Jakarta, YOI., Hal. 169
[4] Telah ditetapkannya tingkatan Perwakilan Diplomatik. Pertama, Ambassador,Legates, or nouncius,Kedua,Envoy, Minister or other persons accredited to sovergn. Ketiga, Charge’s de-affairs, accredited to minister, for forign affairs. Baca lebih lanjut, Edy Suryono & Moenir Arisoendha, 1986, “Hukum Diplomatik: Kekebalan Dan Keistimewaan”, Bandung, Angkasa., Hal.18
[5] Tingakatan Perwakilan:1. Ambassador, 2. Envoy (Duta) dan Ministers Plenipotentiary, 3. Minister Resident Accredited to minister of Forign Affairs. Lihat, B. Sen. A. Diplomat’s Hand Book of Internasional Law and Practice, Martinus Nijhoff, the hague., hal 17-18. Telah dikutif dari, Edy Suryono & Moenir Arisoendha, Ibid
[6] Lihat, Syahmin AK., S.H., 1988, Hukum Diplomatik Suatu Pengantar, Bandung, CV. Armico., Hal. 19
[7] Ibid.,Hal.40
[8] Lihat, lebih lanjut “Kasus”, EDY Suryono, 1992, “Perkembangan Hukum Diplomatik”, Solo, Cv. Mandar Maju. Hal. 93-93.
[9] Edy Suryono & Moenir Arisoendha, Loc. Cit., hal. 54

0 komentar:

Post a Comment

 

My Profil

My photo
Batu Bolong, Makassar/Sulsel, Indonesia
Someone on the photo is independent writer in this blog namely Muhammad Jusrianto from Latimojong, Enrekang, South Celebes, Indonesia. Latimojong is one of the deepest areas which has the highest mountain in Celebes island, named as Latimojong Mountain. Although spending time and growing in underdeveloped area, he has a great spirit to attend higher education. He spent four years, from 2010 to 2014, to finish his study International Relations Department of University of Muhammadiyah Malang in Malang, East Java. After completing an undergraduate degree, he decided to closely keep in touch with English for preparing himself to attend master degree abroad, whereas running the responsibilities in The Institution of Tourism and Environmentalist at HMI. Now he is a IELTS tutor in Insancita Bangsa Foundation and a director of Information and Communication in LEPPAMI HMI.

Popular Posts

Musik

Video