“Kausalitas Konflik Menjelang Pilkada Kab. Puncak (Prov. Papua) Di tinjau Dari Pemikiran Nicollo Machiavelli


Abstrak
            Lahirnya Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 24 Tahun 2004 diharapakan dapat membawa dampak positif yang luar biasa bagi kemaslahatan masyarkat di setiap daerah di Indonesia. Undang-Undang Otonomi Daerah juga diharapkan pada saat pemilihan kepala daerah, stabilitas politik tetap terjaga dengan baik. Tetapi Sebagian Pilkada yang dilakukan mendatangkan masalah, bahkan hanya masalah money politic tetapi juga mengakibatkan Korban nyawa. Kabupaten Puncak (Provensi Papua), yang rencanya akan melangsungkan Pemilukada pada 9 November 2011, tetapi sampai saat ini tidak dapat dilaksanakan karena terjadi konflik antara dua kelompok pendukung. Pemikiran Nicollo Machiavelli yang berasal dari realisme politik akan menjadi pisau analisis dalam kasus tersebut.
Kata Kunci
Pemilukada, Konflik, Dua Kelompok dan Pemikiran Machiavelli
Pembahasan
Otonomi Daerah       
Semua masyarakat menginginkan kedamaian, kesejahteraan dan kemakmuran untuk surviva di dunia ini.  Untuk mewujudkan harapan baik, dari semua manusia yang tinggal dalam suatu wilayah “negara” maka pemerintah  dan institusi publik lain dipercayakan oleh rakyat untuk mengatur negara dengan baik. Salah satu hasil dari interpretasi kebutuhan rakyat, yaitu menerapkan dan menjunjung tinggi nilai-nilai  demokrasi dan telah menghasilkan sistem pemerintahan yang desentralisasi dan lahirnya undang-undang otonomi daerah. Pada tahun 2004 telah keluar Undang-Undang Otonomi Daerah Nomor 24 Tahun 2004, bersamaan lahirnya pesta demokrasi pertama di Indonesia, yaitu pemilihan langsung mulai dari presiden, DPR, DPP dan Kepala daerah.
            Keluarnya undang-undang otonomi daerah dengan berbagai macam pesan yang tersirat dalam undang-undang tersebut. Pesan yang dimaksud adalah bagaimana setiap daerah yang ada di Indonesia dapat mengelola dan mengurusi daerahnya sendiri menjadi lebih baik. Terciptanya kemakmuran, ketentraman, keadilan dan stabilitas politik adalah inti dari otonomi daerah. Untuk menciptakan berbagai konsep yang ideal diatas, maka metode yang ditempuh dan juga diatur dalam undang-undang otonomi daerah, yaitu pemilihan umum kepala daerah. Kepala daerah langsung dipilih oleh rakyat yang terdapat di daerah tersebut dengan mematuhi mekanisme pemilihan langsung pada umumnya.
Salah satu indikator keberhasilan lahirnya undang-undang otonomi daerah adalah berjalan lancarnya pemilukada. Jika pemilukada menghadapai masalah akibat ketidakstabilan politik maka otomatis nilai-nilai demokrasi tercoreng dan tentunya undang-undang otonomi daerah juga iktu tercoreng.Berbagai daerah dipelosok negeri telah mendapat masalah pada saat menjelang dan berlangsungnya Pemilukada dan bukan hanya masalah money politik saja, tetapi juga permaslahan yang dapat membawa nyawa seseorang melayang. Seperti halnya Pilkada yang akan dilakukan di Kabupaten Puncak (Provensi Papua) yang mendatangkan masalah dan penulis menjuluki Pilkada tersebut sebagai “Pilkada Berdarah” sepanjang perjalanan otonomi daerah di Indonesia.
Seputar Kabupaten Puncak
Kabupaten puncak terletak di bagian Indonesia Timur, tepatnya di Provensi Papua. Daerah tersebut merupakan hasil pemekaran dari Kabupaten Puncak Jaya atau Kabupaten ini masih tergolong muda, karena baru-baru saja secara resmi memisahkan diri dari Kabupaten Puncak Jaya pada tanggal 4 Januari 2008 yang diaklamisikan dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2008.  Mengetahui dan sekaligus memaknai kondisi Kabupaten muda tersebut sungguh mengkhawatirkan, daerah tersebut sangat tertinggal dibandingkan dengan daerah lain. Dalam melakukan perjalanan ke Ibu Kota Kabupaten “Ilaga” hanya bisa ditempuh dengan menggunakan transportasi udara dan otomatis masih belum bisa menggunakan transportasi darat. Mengetahui kondisi Ibu kota yang hanya bisa dicapai dengan menggunakan Transportasi Udara dan muncul pertanyaan bagaimana keparahan kondisi pembangunan insfratruktur daerah tingkat kecamatan dan desa dari kabupaten tersebut.[1]
            Sungguh mengkhawatirkan kondisi diatas, dengan adanya kondisi yang seperti itu dapat dikatakan pemerintah baik ditingkat daerah apalagi titingkat pusat telah memperlihatkan kegagalannya dalam mengelola negara ini menjadi lebih berkembang dan maju. Machiavelli menjelaskan sifat dasar manusia bahwa setiap manusia mementingkan dirinya dan kelompok “The interesr of persondal and group”. Dengan pemikiran machiavelli tersebut kemungkinan besar para penanggungjawab rakyat hanya mementingakan kepentingan pribadi dan kelompok. Kesenjangan baik dari konteks ekonomi maupun dimensi lain (politik, sosial-budaya) sudah tersebar di pelosok-pelosok daerah di Indonesia karena di akibatkan elit politik hanya mementingkan kepentingan pribadi dan kelompok. Sangat disayangkan, kaum-kaum Intelektual yang berada dalam sebuah negara sebagaimana dijelaskan oleh Habermas kaum yang dapat membawa pembaharuan, tetapi nyatanya tidak dapat berbuat banyak untuk meratakan kesejahteraan di seluruh daerah di pelosok tanah Air, misalnya di Kabupaten Puncak.
Penyebab Konflik
“Machiavelli menganggap bahwa sifat dasar manusia sebenarnya tidak pernah puas akan hasrat-hasrat dan keinginan-keinginannya, karenanya manusia itu sebenarnya sangat jamak,tamak, arogan, kejam, penuh kekerasan, dan nafsu akan kekuasaan”.[2] Keyakinan Machiavelli akan sifat hewani manusia “Nature Of Men” menjadi embrio yang melahirkan konflik baik konflik pendek maupun konflik panjang. Manusia yang di adakan di dunia ini oleh sang maha kuasa diharapkan dapat berbuat banyak untuk dirinya dan kemaslahatan dunia dengan cara berhubungan baik dengan tiga elemen, yaitu Allah, Lingkungan dan Sesama Manusia. Tapi apalah daya, manusia tetap memiliki sifat hewani yang sudah mendarah daging atau sebagai parasit dalam tubuh manusia sebagaimana yang dijelaskan Machiavelli diatas.
Terlebih dahulu, baiknya menelusuri penyebab konflik pada Pilkada di Kabupaten Puncak, yang mana konflik muncul dari kelompok yang sama tetapi kemudian memperebutkan kekuasaan, didalam realisme politik sebagai aliran Machiavelli di kenal konsep “Stuggle Of Power”. Selain alasan memperebutkan legitimasi – kekuasaan untuk maju sebagai calon bupati juga di sebabkan oleh Partai Gerindara yang dualisme. Partai Gerindra dikenal sebagai partai yang baru lahir yang sukses memeriahkan pemilihan umum pada tahun 2009 karena dikenal terorganisir dengan baik, tetapi nayata-nyatanya tidak terorganisir  dengan baik sampai ke daerah. Ketidakorgansirnya Partai Gerindra dibuktikan di tingkat cabang, yang mana terjadi perbedaan delegasi calon bupati antara DPP dan DPC partai Gerinda sebagai akar konflik di Ilaga. Dimana, DPP partai gerindra mendukung Elfis Tabuni sedangkan  Simon Alom didukung oleh DPC Partai Gerindra.
Pada tanggal 30 Juli 2011 kedua kandidat tersebut diverifikasi dan KPU setempat menolak Simon Alom, karena Gerindra sudah menarik dukungan terhadapanya. Penarikan dukungan itu menyebabkan pendukung Simon Alom marah dan menyerang kelompok Ketua DPC Gerindra Puncak, yaitu Thomas Tabuni dan membakar rumah Elvis Tabuni. Atas serangan tersebut telah menimbulkan masalah baru, yaitu serangan balik yang dilakukan oleh kelompok pendukung Elvis Tabuni. Akhirnya terjadilah bentrokan berdarah pertama antara kedua pendukung yang menyebabkan 17 orang meninggal (13 orang pendukung Elvis dan dari kubu Simon Alom 4 orang).
Setelah bentrokan besar antara kedua pendukung telah mengakibatkan pemilukada yang rencananya akan berlangsung pada 9 November 2011 dan kemudian sampai saat ini pemilihan belum dilakukan karena kondisi belum stabil.[3] Alasan ketidakstabilan telah dijelaskan berbagai sumber “media masaa dan anggota DPR yang memantau kesana”, dimana kedua kubu sama-sama menyimpan dendam sehingga kedua kubu sama-sama terancam keamanannya atas apa yang mereka lakukan. Sampai sekarang konflik masih berlangsung dan memakan korban nyawa sebanyak 55 orang tewas. Ujian Akhir Sekolah tingakat SMA  dan sederajatnya pada 16 April 2012 terhambat dilakukan di Ilaga akibat stabilitas belum terwujud dan dipindahkan ke Timika dan Nabire.[4] Selain itu akibat dari konflik kedua kubu sebagaimana yang dijelaskan oleh Sekretaris Komisi A DPRD Puncak, Pelinus Balinal,S.Sos,M.Si , bahwa kondisi di Kabupaten Puncak masih belum stabil sehingga aktivitas pemerintahan maupun masyarakat tidak bisa berjalan dengan normal. Pihaknya juga membawa dokomentasi korban bentrok di Puncak. Foto-foto yang ditunjukkannya itu sungguh membuat jantung berdebar, sebab dalam foto-foto itu, para korban yang meninggal itu mengalami luka-luka yang cukup mengenaskan.[5]
Penutup
                Menelusuri kejadian konflik Pilkada di Kabupaten Puncak, sebenarnya titik tekannya ada pada kedua kandidat yang dulunya sama-sama di usung oleh gerindra. Kedua kandidat tersebut menginginkan legitimasi dari partai pencalon “Gerindra” yang ujung-ujungnya masalah kekuasaan. Seandainya terdapat salah satu calon yang mengalah dan mengorganisir massanya untuk menghindari konflik, maka konflik selanjutnya setelah konflik pertama dapat terhindarkan. Jelas ketika Machiavelli menekankan bahwa perang/konflik terjadi karena dilatar belakangi oleh sesuatu yang penuh intrik dan kekerasan dari para aktor yang ingin berkuasa dan ia juga menegaskan kecemburuan dapat menyebabkan konflik. Manusia dalam pemikiran Machiavelli adalah makhluk serakah dan haus akan kekuasaan sehingga dalam mencapai kekuasaan dapat menghalalkan segala cara untuk mencapai tujuannya “The end justifies the means”. Pemikiran machiavelli telah melekat pada sebagian besar para penguasa dan masyarakat di dunia ini dan salah satu contohnya, yaitu Elvis Tabuni dan Simon Alom dan para pendukungnya dalam memperebutkan legitimasi untuk maju jadi calon bupati.


[1]Lihat, Kompasiana, (7 Januari 2012 08:08), “Pilkada Paling Berdarah Di Era Otonomi”, di kutip dalam “http://politik.kompasiana.com/2012/01/07/pilkada-paling-berdarah-di-era-otonomi/ (Diakses 16 April 2012)
[2] Lihat, Shaummil Hadi, 2008, “Third Debate Dan Kritik Positivisme Ilmu Hubungan Internasional”, Yogyakarta: Jalasutra, Hal,. 88.
[3] Lihat, Jerry Omona / Angga Haksoro, (8 Desember 2011 - 15:27 WIB), “36 Tewas Bentrok Pemulkada Kabupaten Puncak”, Dikutip dalam “ http://www.vhrmedia.com/2010/detail.php?.e=5146 (Diakases 16 Januari 2012)
[4]Lihat, Tempo.co, (14 April 2012 15:50 WIB), “Puncak Papua Belum Aman, Peserta Ujian Dievakuasi”, dikutip dalam, http://www.tempo.co/read/news/2012/04/14/079397063/Puncak-Papua-Belum-Aman-Peserta-Ujian-Dievakuasi (Diakses 16 April 2012)
[5]Lihat, Jawa Pos Group, (Sabtu, 14 Januari 2012, 13:20 WIB), “Bentrok Di Puncak Berlanjut, 49 Orang Tewas”, di ambil dalam “http://www.jpnn.com/index.php?mib=berita.detail&id=114173, (Di Akses 16 Januari 2012)






0 komentar:

Post a Comment

 

My Profil

My photo
Batu Bolong, Makassar/Sulsel, Indonesia
Someone on the photo is independent writer in this blog namely Muhammad Jusrianto from Latimojong, Enrekang, South Celebes, Indonesia. Latimojong is one of the deepest areas which has the highest mountain in Celebes island, named as Latimojong Mountain. Although spending time and growing in underdeveloped area, he has a great spirit to attend higher education. He spent four years, from 2010 to 2014, to finish his study International Relations Department of University of Muhammadiyah Malang in Malang, East Java. After completing an undergraduate degree, he decided to closely keep in touch with English for preparing himself to attend master degree abroad, whereas running the responsibilities in The Institution of Tourism and Environmentalist at HMI. Now he is a IELTS tutor in Insancita Bangsa Foundation and a director of Information and Communication in LEPPAMI HMI.

Popular Posts

Musik

Video