Peran Indonesia Dalam Pusaran Konflik Rohingya

Konflik yang berkepanjangan antara Masyarakat Rohingya dengan masyarakat Rhakine telah memakan korban, sedikitnya 6000 nyawa melayang. Etnis Rohingya sebagai kelompok minoritas menjadi korban dari tindakan konflik kekerasan yang luar biasa itu. Bukan hanya pembunuhan massal atau genocida (Pembasmian) tetapi juga masyarakat Rohingya mengalami pengusiran untuk keluar dari bumi Myanmar. Setidaknya sekitar 800.000 etnis Rohingya mencari suaka politik ke negara lain khususnya ke negara-negara ASEAN seperti Indonesia, Filipina dan Malaysia.
Tindakan diskriminasi, kekerasan, pembantaian, pembunuhan, pembasmian massal (genocida) dan pengusiran yang terjadi pada etnis Rohingya, mutlak tindakan pelanggaran HAM berat. Tragedi Rohingya menjadi bukti nyata bahwa masyarakat Rhakine yang terlibat langsung sebagai pelaku serta mendapat sokongan dari militer dan pemerintah Myanmar, telah mengabaikan sisi kemanusiaan. Oleh karena itu, menjadi tuntutan bagi Indonesia mengambil peran besar untuk menyelesaikan permasalahan yang menimpa etnis Rohingya, terlibat karena didasarkan atas panggilan semangat kemanusiaan. Perjuangan nilai-nilai kemanusiaan bagi pemerintah Indonesia telah ditegaskan dalam Pancasila dan UUD.
Indonesia dalam melibatkan diri, bagaimanapun harus tetap menghargai, menghormati dan mematuhi hasil konsensus negara-negara ASEAN yaitu non intervention prinsiple. Artinya, ASEAN termasuk anggota-anggotanya tidak boleh melakukan intervensi terhadap masalah internal yang dihadapi oleh salah satu negara anggota. Namun negara-negara ASEAN memiliki beban tanggungjawab moral untuk menyelesaikan bentuk-bentuk pelanggaran HAM, apalagi yang bersifat berat yang terjadi di wilayah ASEAN. Sebagaimana salah satu tujuan utama yang ada dalam piagam ASEAN: “to strengthen democracy, enhance good governance and the rule of law, and to promote and protect human right and fundamental freedom, with due regard to the rights and responsibilities of the member state of Asean.” Indonesia terlibat aktif dalam kasus ini, harus menggunakan pendekatan-pendeatan efektif dan efisien yang tidak bertolakbelakang dengan prinsip non-intervensi.
Pertama, Multi-Track Diplomacy, dalam konteks ini yaitu relasi antara pemerintah Indonesia dan NGO. Indonesia melakukan kerjasama dengan NGO untuk menyuarakan nasib masyarakat Rohingya di Myanmar maupun terlibat membantu etnis Rohingya yang berada di negara-negara lain. Kedua, Diplomacy Bilateral, Indonesia melakukan diplomasi politik dalam bingkai nilai-nilai kemanusian. Dalam artian, etnis Rohingya butuh diperlakukan sebagai manusia seperti halnya masyarakat Myammar lainnya. Ketiga, ASEAN Institution Instrument, Indonesia menjadikan institusi ASEAN sebagai instrumen untuk melakukan konsolidasi dengan negara-negara ASEAN. Konsolidasi ditujukan untuk mendorong pemerintahan Myanmar secepatnya menyelesaikan permasalahan Rohingya secara utuh.

Apabila upaya-upaya diatas sudah dilalui pemerintah Indonesia, dan kemudian tidak mencapai target dan tujuan. Negara-negara ASEAN harus menggunakan Pressure Approach kepada pemerintah Myanmar sebagai wujud dari manifestasi kesepakatan Piagam ASEAN. Jika perlu pemutusan hubungan ekonomi dan hubungan diplomatik dilakukan, yang diawali Indonesia dan mengajak negara-negara lain juga melakukannya. Hal ini dilakukan supaya Myanmar dapat menyelesaikan masalah Rohingya mulai dari akar-akarnya, seperti mencabut isi dari Burma Citizenship Law yang terbit pada 1982 yang berbunyi, “warga etnis Rohingya dinyatakan sebagai non-national atau bukan warga negara.” Selain pemerintah Myanmar mengakui etnis Rohingya diakui sebagai warga negara sah Myanmar , dan juga wajib menggaransikan rasa aman dan damai kepada masyarakat Rohingya secara legal standing. 

0 komentar:

Post a Comment

 

My Profil

My photo
Batu Bolong, Makassar/Sulsel, Indonesia
Someone on the photo is independent writer in this blog namely Muhammad Jusrianto from Latimojong, Enrekang, South Celebes, Indonesia. Latimojong is one of the deepest areas which has the highest mountain in Celebes island, named as Latimojong Mountain. Although spending time and growing in underdeveloped area, he has a great spirit to attend higher education. He spent four years, from 2010 to 2014, to finish his study International Relations Department of University of Muhammadiyah Malang in Malang, East Java. After completing an undergraduate degree, he decided to closely keep in touch with English for preparing himself to attend master degree abroad, whereas running the responsibilities in The Institution of Tourism and Environmentalist at HMI. Now he is a IELTS tutor in Insancita Bangsa Foundation and a director of Information and Communication in LEPPAMI HMI.

Popular Posts

Musik

Video